Analisis Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang PemilihanUmum Presiden Dan Wakil Presiden Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam konsep
negara hukum, keberadaan norma-norma hukum yang mengatur tatanan kehidupan
masyarakat guna mencapai suatu ketertiban, merupakan karakter umum dari negara
yang diselenggarakan oleh hukum.[1]Kehidupan
dalam masyarakat yang sedikit banyak berjalan dengan tertib dan teratur ini
didukung oleh adanya suatu tantanan. Karena adanya tatanan inilah kehidupan
menjadi tertib. Pandangan ini menjelaskan fungsi utama hukum untuk menciptakan
keadilan akibat adanya ketertiban, yang diorganisasikan oleh lembaga-lembaga
formil dan informil,yang masing-masing merujuk kepada hukum tertulis dan tidak
tertulis.[2]
Negara hukum adalah konsep yang selalu saja mengalami implikasi
makna menjadi dalam negara berlaku hukum. Padahal filosofi negara hukum
meliputi pengertian, ketika negara melaksanakan kekuasaannya, maka negara
tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya, ketika hukum eksis terhadap negara,
maka kekuasaan menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang
diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis. Akan
tetapi, jika pengawasan hukum atas kekuasaan negara tidak memadai, pengertian
substantif negara hukum akan terperosok ke dalam kubangan lumpur negara yang
kuasa. Jika kondisi demikian berlangsung terus, maka negara itu lebih tepat disebut
sebagai negara yang nihil hukum. Dalam negara seperti ini bila dipandang secara
kasat matamemang terdapat seperangkat aturan hukum. Tetapi hukum itu tidak
lebih dari sekedar perisai kekuasaan yang membuaat kekuasaan steril dari hukum
dan melahirkan negara yang semata-mata dikendalikan oleh kekuasaan.[3]
Untuk memahami perkembangan konsep negara hukum,
secara empiris dapat dikatakan sebagai objek kajian yang tidak bisa terpisah
dari perkembangan fungsi yudisial dalam melaksanakan pengujian hukum secara
formil dan konsep negara hukum yang awalnya bersifat transedental menjadi lebih nyata atau konkret dirasakan oleh
masyarakat luas. Karena melalui sistem pengujian seperti ini diperkirakan
hak-hak konstitusional masyarakat yang dilanggar oleh produk hukum dapat
dikembalikan pada hakikatnya semula. Untuk itunegaramembutuhkansuatu lembaga
independen yang bertugas untuk menguji hukum yang ada di dalam masyarakat.[4]
Lembaran awal sejarah praktik pengujian undang-undang (judicial review) bermula di Mahkamah
Agung Amerika Serikat saat dipimpin John
Marshall dalam kasus Marbury lawan
Madison tahun 1803. Kendati saat itu konstitusi Amerika Serikat tidak
mengatur pemberiaan kewenangan untuk melakukan judicial review kepada Mahkamah Agung, tetapi dengan menafsirkan
sumpah jabatan yang mengharuskan untuk senentiasa menegakkan suatu
undang-undang bertentangan dengan konstitusi.[5]Bangsa
Indonesia sudah lama mendambakan kehadiran sistem kekuasaan kehakiman yang
dapat digunakan untuk menguji produk hukum di bawah Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Oleh sebab itu, Undang-Undang Dasar
diproyeksikan sebagai satu-satunya simbol atas tegaknya negara yang
diselenggarakan berdasarkan hukum.
Bila ditarik ke
belakang pada periode berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Mahkamah Agung tidak diberi peran sebagai
pelindung undang-undang dasar. Akibatnya hak menguji tidak menjangkau undang-undang
melainkan hanya dibatasi berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) yang
menentukan apakah peraturan perundangan di bawah undang-undang bertentangan
atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.[6]Berdasarkan
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus
pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat
(2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai
Presidan dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 24c ayat (1) UUD 1945 Mahkamah
Konstitusi diberikan kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945,
artinya dalam hal ini Mahkamah Konstitusi merupakan batu uji bagi undang-undang
dibawah di bawah UUD 1945 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyatakan bahwa secara
hirarkis kedudukan UUD 1945 adalah lebih tinggi dari undang-undang oleh karna
itu setiap ketentuan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945
dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan UUD 1945, pengujiannya
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, pemilu Presiden dan Wakil Presidendengan
pemilu Legislatif dilaksanakan secara terpisah, hal ini juga banyak medapat
sorotan dari berbagai kalangan masyarakat, karena pemilu terpisah tersebut
dinilai tidak efisien. Selain biayannya yang cukup besar, pelaksanaan pemilu
tidak serentak telah menimbulkan kerugiaan hak konstitusonal warga negara
sebagai pemilih.
Apabila pemilu serentak diterapkan maka akan dapat
menghemat uang negara sebesar 120 triliun.Atas dasar itu, pakar komunikasi politik,
Effendi Gazali mempersoalkan sejumlah pasal dalam Undang-UndangNomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi.
Effendi memohon pengujian konstitusionalitas Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12
ayat (1) dan ayat(2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran
NegaraRepublik Indonesia Tahun 2008 Nomor176, Tambahan Lembaran NegaraRepublik
Indonesia Nomor 4924), (selanjutnya disebut UU 42/2008) Dalam amar putusan,
majelis hakim konstitusi menyatakan bahwa putusan tersebut hanya berlaku untuk
Pemilu 2019 dan seterusnya. Permohonan yang tidak dikabulkan adalah uji materi
atas Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan yang mengatur
tentang besaran batas minimal perolehan suara partai politik untuk dapat
mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential treshold).
Mahkamah Konstitusi menyatakan pula bahwa putusan tidak dapat digunakan untuk
Pemilu 2014
agar tidak muncul ketidakpastian hukum. Dalam
pertimbangan putusan, Mahkamah Konstitusi menilai tahapan Pemilu 2014 sudah
memasuki tahap akhir. Bila seperti lazimnya putusan berlaku seketika setelah
dibacakan, majelis menilai yang terjadi adalah terganggunya Pemilu 2014. Meskipun
lima dari enam gugatan uji materi dikabulkan, di luar isu presidential
treshold, majelis berpendapat pelaksanaan Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 dengan
segala akibat hukumnya, harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional. Putusan
ditandatangani delapan hakim konstitusi, dengan dissenting opinionatau pendapat
berbeda yang disampaikan Maria Farida Indrati.[7]
Dari dinamika putusan Mahkamah Konstitusi yangdi luar
kebiasaan ini mengundang berbagai pendapat para ahli hukum tata negara salah
satunya ialah Yusril Ihza Mahendra ia berpendapat putusan Mahkamah Konstitusi
soal Pemilihan Umum serentak menyebabkan kevakuman hukum dalam pelaksanaan
pemilu. Hal ini karena pengajuan permohonan yang diajukan Effendi Ghazali dan
kawan-kawan tidak meminta secara langsung maksud Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22
E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Selain itu juga Yusril
mengatakan putusan yang di hasilkan oleh Mahkamah Konstitusi di dalam melakukan
pengujian undang-undang itu merupakan putusan yang blunder dan menggantung.
Pelaksanaan dan hasil pemilu 2014 potensial
ditafsrikan inkonstitusional dan terlegitimasi. Hal ini di karenakan putusan
Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum yang mengikat seketika setelah
putusan di bacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.Secara prinsip,
dalam memutus perkara pengujian undang-undang, Mahkamah Konstitusi hanya dapat
berperan sebagai negative legislator, Artinya, Mahkamah Konstitusi hanya dapat menyatakan
pasal, ayat, bagian atau seluruh norma undang-undang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945, dan dinyatakan tidak lagi memiliki kekuatan hukum
mengikat. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 56 dan Pasal 54
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi.Namun dalam
perkembangan, Mahkamah Konstitusi membuat beberapa putusan yang tidak sekedar
membatalkan norma, melainkan juga membuat putusan yang bersifat mengatur
(positive legislature). Dalam perpektif yuridis normatif, tindakan aktivisme yudisial yang mengarah pada
kedudukan positive legislature,
tersebut tidak sesuai dengan pasal di atas dan terkesan melampaui batas.
Sekalipun demikian, apabila ditelaah, beberapa putusan
MahkamahKonstitusi yang bersifat positive
legislature justru menunjukkan dan menjadi bukti penegakan hukum yang
progresif. Meskipun, putusan yang demikian tersebut menimbulkan problematika
dan dinamika dalam implementasinya. Dalam penegakan hukum yang progresif,hukum
tidak hanya dilihat dari kacamata teks undang-undang saja, melainkan
menghidupkan kemaslahatan dalam kontekstualitas.
Pada konteks dinamika permasalahan putusan yang
dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan hasil putusan yang
bersifat Possitive Legislature dan
status Pemilu pada tahun 2014 inimenarik rasa ingin tahu penulis untuk lebih
mendalami meneliti permasalahan dengan judul “Analisis Hukum Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 Tentang PemilihanUmum Presiden Dan Wakil Presiden Terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
B.Rumusan
Masalah
1. Apakah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
14/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden telah sesuaiberdasarkan Hukum Acara
Mahkamah Konstitusidan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi?
2.Apa implikasi hukum dalam pembatalan atas Pasal 3 Ayat (5), Pasal 12 Ayat
(1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2), serta Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ?
C. Tujuan
Penelitiandan Kegunaan Penelitian
1)Tujuan Penelitian
1.Untuk mengetahui Apakah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013
Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden Dan Wakil Presiden telah sesuai berdasarkan Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
2.Untuk mengetahui implikasi hukumdalam pembatalan atas Pasal 3Ayat (5),
Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2), serta Pasal 112 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
2)Kegunaan Penelitian
1.Sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada setiap perguruan tinggi yaitu
sebagai syarat dalam menempuh ujian akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.
2.Untuk menambah pengetahuan penulis, terutama untuk menggembangkan ilmu
pengetahuan yang telah penulis peroleh selama perkuliahan.
3.Sebagai sumbangan pemikiran penulis terhadap almamater dalam menambah
khasanah Hukum Tata Negara yang berkenaan dengan putusan Mahkamah Konstitusi
dan pemilu.
4.Sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya, khususnya dalam
penelitian yang sama.
D.Manfaat
Penulisan
1. Manfaat teoritis dengan
adanya penelitian ini adalah :
Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan danmemperkaya lagi khasanah keilmuan khususnya dalam bidang
ketatanegaraan berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan pemilu,
mengingat dewasa ini masih sulit untuk menemukan karya tulis atau buku
berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pemilu.
2. Manfaat Praktis Penelitian
ini adalah :
Sebagai bahan pertimbangan sekaligus masukkan kepada pemerintah khususnya
Mahkamah Konstitusi untuk dapat lebih kompeten dalam mengeluarkan suatu
putusan.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Mahkamah Konstitusi
1. Sejarah Mahkamah konstitusi (MK) di Indonesia
Studi hukum tata negara dan konstitusi semakin menarik ketika melihat
kenyataan bahwa UUD 1945 pasca amandemen mengimplikasikan perubahan secara
mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, termasuk struktur dan
kelembagaan negara. Perubahan Undang-undang Dasar 1945 dilakukan pada kurun
waktu 1999-2002 dalam suatu suatu rangkaian perubahan, dibahas selama 2 tahun
11 bulan dengan cermat dan disahkan dalam empat tahap sidang tahunan MPR, yaitu
tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Perubahan itu kemudian memperlihatkan bahwa
indonesia mengadopsi prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan antara lain prinsip “pemisahan kekuasaan”
atau “check and balances” yang
menggantikan prinsip supermasi parlemenyang dianut sebelumnya.[8] Salah
satu implikasi dari pengadopsian prinsip-prinsip tersebut, kirannya diperlukan
pelembagaan yang memungkinkan peranan hukum dan hakim untuk dapat mengontrol
proses dan produk keputusan-keputusan politik yang mendasarkan diri pada
prinsip “the rule of majority”. Dalam
hal ini fungsi yudisial review atas undang-undang tidak dapt lagi dihindari
penetapannya dalam sistem ketatanegaraan.
Terkait
dengan fungsi judisial review inilah, MK dibentuk dan hadir sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman disamping MA yang jauh lebih dulu ada. Sacara
stuktur kelembagaan, kedua lembaga negara tersebut sejajar dengan peran dan
fungsi yang berbeda sebagaimana yang ditentukan oleh undang-udang dasar 1945.
Salah satu kewenangan yang dimiliki keduanya sebagai pelaku kekuasaan kehakiman
adalah kewenangan judicial review, yakni menguji peraturan perundang-undangan
dengan batu uji peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi.[9]
Kedua lembaga tersebut memiliki kewenangan judisial review, bedanya Mamenguji produk hukum dibawah
undang-undang (UU) sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (1) UU nomor 5 tahun
2004 yang menyatakan “permohonan
pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap
undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada MA dan dibuat
secara tertulis dalam bahasa Indonesia”. Sedangkan MK menguji UU terhadap
Undang-undang dasar 1945.[10]
Kewenangana MK ini sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasal 24C yang menyatakan:
Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD negara
republik Indonesia 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, memutus
pembubaran partai Politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.”[11]
Disamping kewenangan diatas, MK mempunyai kewajiban memberikan putusan
pendapat atas pendapat dewan perwakilan rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau wakil Presiden. Setelah eksistensi konstitusionalnya mendapat
tempat dalam UUD1945 pasca Amandemen, MK secara resmi dibentuk pada tahun 2003
melalui undang-undang No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo UU No 8
tahun 2011. Dalam kiprahnya, sebagai sebuah lemabaga negara baru, MK dianggap
sebagai fenomenal karena banyak memberikan suntikan kontribusi penting dan
positif bagi pembangunan hukum serta demokrasi. Sebagaimana yang diharapkan
sejak awal, dibentuknya MK dimaksudkan untuk mengawal dan menjaga agar
konstitusi sebagi hukum tertinggi benar-benar dijalankan atau ditegagkan dalam
penyelenggaraan kehidupan kenegaraan sesuai dengan prinsif-prinsif negara hukum
Moderen. Dalam Konteks negara hukum moderen ini, hukum merupakan faktor penentu
bagi keseluruhan paradigma kehidupan
sosial, ekonomi dan politik disuatu negara. Untuk itu, sistem hukum perlu
dibangun (law making) dan ditegakkan
(law inforcing) sebagaimana mestinya
sesuai dan sejalan dengan konstitusi sebagi hukum yang paling tinggi.
Pentingnya menjaga konsistensi hukum adalah karena hukum sebagai sebuah
sistem selalu berorientasi kepada tujuan. Hukum dapat diartikan sebagai
perangkat peraturan yang biasanya dituangkan dalam dokumen tertulis yang
disebut peraturan perundang-undangan. Dalam arti luas pengertian hukum mencakup
pula norma-norma aturan yang hidup dalam praktik yang tidak tertulis, lembaga
atau istitusi yang berkaitan dengan proses pembuatan, pelaksanaan dan penerapan
serta penghakiman terhadap perbuatan melanggar aturan, serta segala aspek
perilaku manusia dalam kehidupan bersama yang berkaitan dengan dengan
norma-norma aturan yang mencakup dalam penegrtian budaya hukum. Elemen yang
berkaitan erat dengan pengertian hukum diatas merupakan satu kesatuan sistem
hukum.[12]
2.
Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi (MK)
MK mempunyai 4 kewenangan dan 1 kewajiban sebagaimana diatur dalam pasal 24C ayat (1)
dan (2) UUD 1945. Pasal 24C ayat 1 UUD
1945 menyebutkan secara eksplisit menegnai kewenangan MK tersebut, yaitu: (1)
menguji UU terhadap UUD ; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga Negara; (3)
memutus pembubaran Partai Poilitik; (4) memutus sengketa hasil pemilihan umum.
Selanjutnya kewajiban MK diatur pada pasal 24C ayat (2) menyatakan: “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan
putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat atas dugaan pelanggaran oleh Presiden dan wakil presiden menurut
Undang-undang Dasar”.[13]
Sejak berdirinya MK pada tanggal 13 agustus 2003, MK
telah menangani atau memutus perkara yang berkaitan dengan kewenangan
konstitusionalnya yaitu: (1) menguji UU terhadap UUD 1945; (2) memutus sengketa
kewenangan lembaga Negara; (3) memutus pembubaran partai politik; (4) memutus
sengketa hasil pemilihan umum. Setelah lahirnya UU No.32 tahun 2004, kewenangan
MK bertambah satu yaitu mengadili perselisihan hasil Pemilu Kepala Daerah
(pasal 236 UU No 12 tahun 2008).
Dalam melaksankan kewenangannya, MK menegaskan diri sebagai lembaga
negara pengawal demokrasi (the guardian
of demokracy) yang menjunjung
prinsip peradilan yang menegaskan keadilan substantif dalam setiap putusannya.
MK selalu berupaya menegakkan keadilan substansif dalam pelaksanaan
kewenangannya, hal tersebut terlihat dari putusan-putusan MK yang diterima oleh
para pihak yang berperkara, baik yang kalah maupun yang menang. Bagi pihak yang
kalah putusan MK diterima dan ditaati karena putusan itu diambil dalm proses
peradilan yang terbukti transparan, tidak memihak dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum,
moral, bahkan secara ilmiah.
Dalam kerangka mewujudkan keadilan substansif melalui pelaksanaan
kewenangannya, MK tidak hanya bersandarkan pada semangat legalitas Formal UU semata, tetapi juga konsistensi untuk tanggung jawab mewujudkan tujuan norma
hukum itu sendiri, yakni nilai substansifnya. Jika Gustav Radbruch menyebut
adanya 3 nilai mendasar dari hukum yang harus ditegakkan, yaitu
keadilan, kepastian dan kemamnfaatan
maka dalam setiap putusannya MK memperhatikan dengan sungguh-sungguh
ketiga nilai dasar tersebut. Memang kendatipun ketiga merupakan nilai dasar
hukum yang penting tetapi sangat mungkin terjadi ketegangan antara satu nilai
dengan nilai yang lainya karena satu sama lain potensi yang bertentangan.
Keadaan demikian bisa dipahami karena ketiga nilai dasar tersebut berisi
tuntutan yang berlainan. Kerana itu pula MK mempertimbangkan pilihan atas nilai
dasar hukum itu dengan cermat, dalam arti disesuaikan atau tergantung pada
karakteristik kasus perkasus. Dalam suatu perkara sangat mungkin prinsip
kepastian hukum diabaikan manakala itu dipilih tetapi tidak menimbulkan
kemanfaatan atau keadilan. Begitu pula
jika keadilan dipandang harus lebih dikedepankan, kemanfaatan dapat
ditinggalkan. Atau MK akan mengkombinasikan ketiga-tiganya secara proporsional
dengan yang dapat dipertanggungjawabkan.[14]
Menurut MK nilai keadilan yang ingin dicapai tidak semata-mata keadilan
prosedural yakni keadkilan yang dicapai melalui pembacaan rumusan teks
Undang-Undang semata. Keadilan yang ingin ditegakkan MK adalah sebagai keadilan
yang sesungguhnya, keadilan yang substansial, keadilan yang hakiki serta
diakui, dirasakan dan hidup dalam masyarakat. Menurut Roger cotterrell, adalah
kewajiban hakim untuk memahami, menggali nilai dan rasa keadilan yang ada
dimasyarakat (already exist). Keadilan itu bukan hanya mewakili atau milik
majoritas saja, tetapi juga menjadi milik sekaligus melindungi manoritas. Jadi
dalam perspektif penulis ukuran utama keadilan itu adalah penerimaan
pihak-pihak yang berperkara terhadap putusan pengadilan. setiap putusan
pengadilan pasti membuahkan pro dan kontra, karena ada selau ada pihak yang
kalah dan menang, ada yang puas dan tidak puas. Pihak-pihak yang kecewa dapat
menerima dan menaati putusan manakala proses peradilannya diyakini digelar
secara adil, jujur, transparan dan terbuka untuk umum, maka penerimaan
pihak-pihak tersebut sudah mendekati kepada nilai keadilan yangdiharapkan.
Prinsif keadilan yang substansif itulah yang selalu diterapkan dalam perkara
pengujian Undang-Undang.[15]
Untuk mendukung paradigma penegakan
keadilan subtansif tersebut MK melakukan berbagai hal, termasuk dengan
pengorganisasian teknis persidangan. Pertama,
MK menyediakan Fasilitas konsultasi dan permohonan online, baik melalui internet, surat elektronik, atau faksimile.
Hal itu dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat kepada MK sehingga jarak dan waktu tidak lagi menjadi kendala.
Meskipun untuk kepentingan pengesahan MK tetap mensyaratkan dokumen permohonan
asli untuk diserahkan ke MK. Kedua, MK
menyediakan Fasilitas persidangan jarak jauh (vidio confrence) yang diletakkan diberbagai perguruan tinggi hukum
diseluruh Indonesia sehingga untuk mengikuti persidangan, pihak yang berperkara
tidak harus selalu datang ke gedung MK. Ketiga,
MK membuat terobosan dengan menempatkan putusan sela dalam pengujian
undang-undang sebagai sebelum putusan akhir dijatuhkan. Keempat, MK mengakomodir kemajuan teknologi, informasi dan
komunikasi yang berkembang sangat pesat untuk mendukung kelancaran persidangan.
Kelima, untuk menjalankan prinsip audi et alterampartem sekaligus menjaga
proses peradilan tetap fair, MK memanggil pihak-pihak yang berkepentingan
dengan perkara untuk didengar keterangannya didalam persidangan.[16]
Terhadap MK menjalankan kewenangan menguji
konsistensi hukum, dalam hal ini konsistensi UU terhadap UUD 1945. Kiprah MK
dalam menjaga konsistensi hukum, dalam hal ini konsistensi Undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dapat dilihat antara lain dari banyak perkara
dan putusandalam pengujian Undang-Undang. Sejak dibentuk pada tahun 2003, MK
telah menangani banyak perkara pengujian UU, dari statistik perkara yang ada MK
telah memutuskan 1942 perkara dari tahun 2003 sampai 2014. Mahkamah Konstitusi
telah meregistrasi 808 perkara dan 156 diantaranya dikabulkan. Ditinjau dari
aspek kewenangan MK, jumlah seluruh perkara MK dapat dirinci seperti pengujian
Undang-Undang, sengketa kewenangan lembaga Negara, perselisihan hasil pemilihan
umum DPRD, DPD, DPR, Presiden dan Wakil Presiden dan perselisihan hasil
pemilihan umum Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah MK telah memutus
perkara-perkara pengujian UU, baik yang amarnya ditolak, dikabulkan atau tidak
diterima.[17]
Melalui putusannya MK dapat mengabulkan
permohonan dengan menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, bagian atau
keseluruhan UU bertentangan dengan UUD 195. Hal ini sebagaimana ditentukan
dalam pasal 57 ayat (1) UU MK yang menyebutkan, putusan MK yang amar putusannya
yang menyatakan bahwa materi muatan ayat pasal dan atau bagian dari UU
bertentangan dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum Mengikat. Ketentuan
tersebut memperlihatkan bahwa putusan MK dalam perkara pengujian UU dengan UUD
1945 adalah menyatakan materi muatan pasal ayatdan atau bagian dari UU tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam konteks inilah MK memerankan diri
sebagai a negative legislator atau
pembatal norma dan bukan pembuat norma atau positive
legislator. Sebagai negatif legislator, MK hanya bisa menghilangkan norma
yang ada dalam suatu Undang-Undang bila bertentangan dengan UUD 1945 karena MK
tidak Boleh menambahkah norma baru kedalam UU tersebut yang sesungguhnya
menjadi kewenangan lembaga legislatif. Hal ini tegas dinyatakan dinyatakan
dalam UU No 24 tahun 2003, yang menyatakan MK sebatas mengahapus norma.[18]
3.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Sejak
awal keberadaannya, MK didesain untuk mengawal Konstitusi dalam arti menjaga Undang-Undang Konsisten,
sejalan, dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang dasar. Pada hal ini, ada
semacam sekat konstitusionalisme yang membatasi secara tegas MK sebagai
peradilan Konstitusi untuk tidak mencampuri ranah Legislatif. Karena itu
Yudikatif MK pada prinsifnya hanya boleh menyatakan bahwa pasal/ayat/bagian
atau seluruh Undang-Undang yang bertentangan dengan Konstitusi.
Sejumlah Putusan MK, baik dalam pengujian
Undang-Undang maupun persilisihan hasil pemilu (PHPU), telah berkembang menjadi rujukan para pihak berperkara. Bahkan
putusan-putusan tersebut menjadi rujukan pertimbangan MK, baik dalam memutus
perkara pengujian Undang-Undang maupun PHPU berikutnya. Putusan-putusan berkembang
menjadi yurisprudensi karena didalamnya terkandung temuan hukum yang melahirkan
prinsi-prinsip hukum baru.
Pembentukan hukum oleh hakim MK
dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor yuridis, filosofis, maupun
sosioal dan personal. Terkait dengan faktor-faktor tersebut, berikut ini telaah
teoritis hukum responsif dati jhon Hendry Marryman, teori bekerjannya hukum
dari Robert B. Seidmen dan William J. Chambliss, dan teori cybernetics dari
Wiener:
1.
Peranan Hakim membuat hukum menurut Jhon Hendry Marryman: antara comon
law dan civil law. Negara-negara yang menganut Common
Law dan Civil Law system, hakim memiliki posisi strategis membentuk Hukum (judge made Law). Hal ini berbeda dengan
Negara-negara civil Law yang lebih mengedepankan aturan-aturan
perundang-undangan/hukum positif hasil legislasi. Karena hukum ditemukan oleh
Hakim lebih ditekankan, karena dinegara legislasi dipandangannya sebagai fungsi
tambahan belaka.
Jhon
Hendry Marryman menyebutkan, karena peran strategisnya itu hakim sebagai
pahlawan budaya, atau figur dari seorang bapak. Menilik perkembangan hukum dari
common Lauw system, hukum ditangan hakim dibuat salah
satunya dengan alasan kedekatannya dari suatu kasus, dan membangun dari sebuah
badan hukum yang mengikat hakim-hakim dibawahnya, inilah yang disebut sebagai
doktrin stare decisi untuk memutus
perkara yang sama dengan cara yang sama.
Berbeda dengan itu, hakim
dinegara-negara civil law hanyalah
operator dari mesin yyang dirancang dan dibangun oleh legislator. Fungsinya adalah
salah satu mekanis, dan dinegara civil
lawnama-nama Legislator yang besar dalam sejarah bukan Hakim, hakim dalam system civil Lawbukan pahlawan Budaya atau figur bapak, hakim adalah
pengawai sipil yang mempunyai fungsi penting tetapi pada dasarnya tidak
memiliki daya cipta. Kecenderungan keputusan-keputusan pengadilan yang lebih tinggi
pada yuridiksi civil law dilakukan
secara alami. Hakim pada tradisi civil law tidak pernah diartikan sebagai
pemain yang memainkan peran dibagian utama. Hal ini diperkuat oleh ideologi anti-yudicial dan konsekuensi logis dari
doktrin rasionalistik pemisah
kekuasaan ketat. Hakim civil lawdengan
demikian memainkan peran yang lebih sederhana dari hakim dari tradisi common law. Doktrin pemisahan kekuasaan
menganggap bahwa penagadilan tidak diperkenankan melakukan fungsi
interpretatif, tetapi harus merujuk pada masalah penafsiran hukum yang
ditentukan oleh badan legislatif itu sendiri sebagi solusi. Legislatif akan
memberikan interprestasi otoritatif untuk memandu hakim. Dengan cara ini
kecacatan hukum akan terhindari, pengadilan akan dijegah untuk membuat hukum,
dan negara akan aman dari ancaman tirani judicial.
2.
Manfaat teori bekerjanya Hukum dari seidman
dan chambliss dalam penbuatan putusan MK.
Menurut
Robert B. Seidman William J.Chambliss
dalam teori bekerjannya hukum, pembentukan hukum dan implementasinnya tidak
akan terlepas daripengaruh atau asupan kekuatan-kekuatan sosial dan personal,
kekuatan sosial politik. Teori bekerjanya hukum ini menjelaskan bagaimana
pengaruh dan personal dalam pembentukan dan implementasinya. Dalam konteks
hukum yang berupa Undang-undang, dilingkungan DPR dan pemerintah, dimana
kekuatan-kekuatan politik itu adalah sebagai pembentuk Undang-undang.[19]
Menurut siedman dan chambliss, setiap peraturan hukum itu menunjukan
aturan-aturan tentang bagaimana seseoarang pemegang peran diharapkan untuk
bertindak:
(1)
tindakan apa yang akan diambil oleh pemegang peran sebagai respons terhadap
peraturan hukum, sangat tergantung dan kendalikan oleh peraturan hukum yang
berlaku, dari sanksi,sanksinya, dari aktivitas lembaga pelaksanaanya, serta
dari suatu kompleks kekuatan sosial, politik, dan lain sebagainya yang bekerja
atas dirinya:
(2)
tindakan yang akan diambil oleh lembaga pelaksana sebagai respons terhadap
peraturan-peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya dan dari seluruh
kompleks kekuatan sosial, politik dan sebaginya yang bekerja atas dirinya,
serta dari umpan balik yang akan datang
dari pemegang peran dan birokrasi:
(3)
tindakan apa yang akan diambil oleh lembaga pembuat undang-undang sebagai
respon terhadap perturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan oleh
fungsinya peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sangsinya, dan dari seluruh
kompleks kekuatan sosial, politik, dan sebagainya yang bekerja atas mereka,
serta dari umpan balik yang datang dari pemegang peran dan birokrasi.[20]
Mengaju pada tiga poin diatas diatas,
didapat pula gambaran bahwa pembentukan putusan MK dikendalikan tidak hanya
oleh peraturan hukum yang ada (Undang-Undang dan Undang-Undang dasar) saja,
tetapi dikendaikan juga oleh kekuatan sosial dan persoalan. Secara
tidaklangsung teori bekerjannya hukum dapat dijelaskan bahwa berlakunya aturan
hukum dapat dipengaruhi oleh kekuatan personel, lingkungan sosial, ekonomi,
sosial, budaya, politik. Salah satu kekuatan soaial dalam teks ini adalah
jaringan sosial.
3.
Manfaat Teori cybernetics dalam
pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi
Cybernetics merupakan
salah satu mekanis (mecanisme system),
yang secara analogi diterapkan dalam kehidupan manusia (living organism-human life). Teori ini pertama kali dicetuskan
oleh Norber wiener, guru besar Mate-matika di Massachuttes Intitute of
tegnology (MIT). Kata “cybernetics” diambil
dari bahasa Yunani yaitu “kubernetes” yang sama artinya
dengan “steersman” atau “ goverbor”, yang dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan
alat atau “pengatur” (on an engine).
Cybernetics sebagai
transformasi komunikasi mekanis yang berakar pada fisika dan metematika kedalam bentuk kehidupan manusia. Wiener
tidak menemukan perbedaan esensial antara proses pemberian dan penerimaan
pemerintah pada mesin dan manusia. Cybernetics menaruh perhatian besar
dalam tehadap proses penyelenggaraan pesan dalam proses komunikasi itu.
Perhatian Cybernernetics ditempatkan
pada kesamaan karakteristik yang menajdi dasr dari proses komunikasi itu. Dalam
sistem komunikasi proses hubungan antara pemberi pesan (komunikasi I) dengan penerima pesan (komunikasi II). Komunikasi I memberikan
pesan kepada Komunikasi II semata mata
dianggap sebagai reaksi otomatis (akibat) akibat yang disebabkan oleh adanya
aksi ( pemberian pesan) dari komunikasi I.
4. Penemuan hukum (rechsvinding) oleh Hakim dilembaga Pengadilan Metode penemuan
Hukum .
Ada perbedaan pandangan tentang metode atau
penemuan hukum oleh hakim antara yuris Eropa Kontinental dengan Yuris Anglo
saxon. Pada umumnya yuris eropa
kontinental tidakmemisahkan secara tegas antara metode interfrestasi dan
kontruksi. Sebakinya, di Anglo saxon
membuat pemisahan yang tegas antara
interfrestasi dengan kontruksi. Perbedaan prinsip antara interprestasi dan kontruksi yaitu
interprestasi atau penafsiran terhadap Undang-Undang masih tetap berpegang pada
teks itu, sedangkan pada kontruksi, hakim menggunakan penalaran logis untuk
mengembangkan lebih lanjut suatu teks.
Ada dua pandangan yang berbeda mengenai
apakah hakim selau melakukan penemuan hukum atau tidak, pertama pandangan
menurut doktrin sens Clair, bahwa
penemuan hukum oleh hakim dibutuhkan jika (1) peraturan belom ada untuk suatu
kasus in-konkreto, atau (2)
peraturannya sudah ada tapi belum jelas. Doktrin Sens Clair meliputi 5 butir sebagai berikut:
a. Ada teks Undang-Undang dimengerti maknanya
sendiri berdasarkan setiap penjelasan sebelumnya, serta tidak mungkin
menimbulkan keraguan
b.
Karena bahasa hukum berdasarkan bahasa percakapan sehari-hari maka dapat
dianggap semau istilah yang tidak ditentukan pembuat Undang-Undang teap saja
sama artinya dengan yang dimilikinya dalam bahasa percakapan biasa
c.
Kekaburan suatu teks Undang-Undang hanya mungkin terjadi karena mengadung arti
yang ambigu atau kekurangan arti yang
lazim dari istilah-istilah itu
d.
secara ideal, baisanya yang dijadikan pegangan bagi pembuat Undang-Undang adlah
ia harus merumuskan teks Undang-undangnyadengan sejelas-jelasnya.
e.
Untuk mengetahui adanya kekaburan ataupun tidak adanya kekaburan teks Undang-Undang.
Tidak diperlukannya penafsiran sebaliknya. Pengakuan tentang jelas atau
kaburnya teks menghasilkan kriteria yang
memungkinkan untuk menilai apakah suatu penafsiran atau penemuan memanga atau
tidak deperlukan.[21]
Kedua, Pandangan para penganut penemuan
hukum selalu dilakukan yaitu hakim selalu dan tidak pernah ada tidak melakukan
penemuan hukum. Hakim pada dasarnya mengkonstatasi peristiwa kongkrit,
sekaligus merumuskan peristiwa kongkrit dan mengkualifikasi peristiwa kongkrit,
sekaligus merumuskan peristiwa kongkrit dan mengkualifikasi peristiwa kongkrit,
yang berarti menetapkan peristiwa hukumnya dari peristiwa konkrit adan/atau
memberi hukum atau hukumannya.
Penafsiran hukum secara alam fikiran
hukum pada dasarnya dapat diterima sebagai jembatan antara Undang-Undang yang
statis dan kaku dengan masa kini dan masa depan. Hukum akan dicari dan
dipercayai masyarakat ketika mampu menjalankan tugas memandu dan melayani
masyakat .
Pembentukan hukum-hukum baru yang
berwujud pada putusan MK diambil berdasarkan pertimbangan terhadap fakta-fakta
yang terungkap dalampersidangan meliputi
ringkasan.
a. Maksud dan tujuan pemohon
b.
Kewenangan Mahkamah sebagaimana dimaksud
pada pasal 24C UUD 1945 pada pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24
tahun 2003.
c.
Kedudukan Hukum (legal standing) sebagai
mana dimaksud pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang nomor 24 Tahun 2003
d.
Alasan dalam pokok permohonan sebagaimana dimaksud pasal 51 ayat (3) huruf a
dan b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
e.
Kesimpulan mengenai semua hal yang dipertimbangkan.[22]
Dilihat dari perkembangan terdapat pula
amar putusan lainnya dalam praktik mahkamah Konstitusi, yaitu :
1. Konstitusionalitas bersyarat (conditionally Constitutional)
Dalam pasal 56 UU No 24 Tahun 2003 tentang MK diatur tiga jenis amar
putusan, yaitu pemohon tidak dapat diterima, permohonan dikabulkan, dan
permohonan ditolak. Jika hanya berdasarkan pada 3 jenis putusan akan sulit
untuk menguji Undang-Undang dimana sebauh Undang-Undang seringkali mempunyai
sifat yang dirumuskan secara umum, padahal dalam rumusan yang sangat umum itu
belum diketahui apakah dalam pelaksanaanya akan bertentangan dengan UUD atau
tidak.
2.
Tidak Konstitusional Bersyarat (Conditionally
Unconstitutionalitas)
Putusan tidak konstitusional bersyarat juga
disebabkan jika hanya berdasarkan pada amar putusan yang diatur dalam pasal 56
UU No 24 Tahun 2003 tentang MK, maka akan sulit untuk menguji UU dimana sebuah
UU seringkali memiliki sifat yang dirumuskan secara umum. Dalam konklusi
putusan, sepanjang tidak dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan maka putusan
tersebut tidak konstitusional bersyarat.
3.
Penundaan Keberlakuan Putusan
Penundaan Keberlakuan Putusan diambil MK untuk
kepentingan Umum yang jauh lebih besar, MK merasa perlu membatasi akibat hukum
yang timbul dari pernyataan inkonstitusionalitas suatu Undang-undang.
4. Perumusan Norma Putusan
Perumusan Norma dalam Putusan dinyatakan MK juka
bagian-bagian tertentu dalam pasal-pasal yang diajukan permohonan sebagai
bertentangan dengan Undnag-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.[23]
B.
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
Norma-norma
hukum yang bersifat mengatur (regeling) dengan
isi norma yang bersifat umum dan abstrak (general
and abstract norms) itu dituangkan dalam bentuktertulis tertentu yang
disebut sebagai peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan atau
wet in materiele zin menurut D.W.P
Ruiter, dalam kepustakaan di Eropa Kontinental mengandung tiga unsur, yaitu:
a. Norma Hukum (rechtsnom)
b.
Berlaku keluar (naar buiten werken)
c.
Berlaku umum dalam arti luas (algemeenheid
in ruine zin)[24]
Jenis-jenis
dan bentuk peraturan tertulis yang bisa disebut sebagai peraturan atau “regels”, “regulation”, legislation dan
bentuk-bentuk “statutory instruments” lainya
sangat beraneka ragam. Bahkan, ada pula bentuk-bentuk khusus yang biasa disebut
sebagai “policy rules” atau “beleidssregels” yang merupakan bentuk
peraturan kebijakan yang tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk dari
peraturan perundang-undangan yang biasa. Bercermin pada Undang-Undang Dasar
1945 baik sebelum dan sesudah perubahan, hal-hal yang mengenai peraturan
perundang-undangan tidak banyak dikemukakan, selain menyebut beberapa jenisnya.
Secara eksplisit Undang-Undang Dasar 1945 hanya menyebut Undang-Undang dan Peraturan
pemerintah, sedangkan peraturan perundang-undangan lainnya berkembang seiring
dengan praktek ketatanegaraan dan tata pemerintahan republik Indonesia.
Lembaga Negara dan lembaga Pemerintah dalam
perundang-undangan, juga berdasarkan teori Hans kelsen, dan Hans Nawiasky serta
tanggapan terhadap ketetapan MPRS. No.XX/MPRS/1996 tentang Memorandum DPR GR
mengenai Sumber tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan, serta Undang-Undang No 10 tahun 2004 tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan Negara Republik Indonesia Merupakan “Formeel Gesets dan Verordnung & Autonome
zatzung” adalah Undang-Undang dan
peraturan perundang-undangan lainnya yang dibentuk oleh lembaga pemerintah
dalam perundang-undangan lainnya yang merupakan peraturan yang bersumber dari
kewenangan atribusi dan delegasi dari peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.[25]
Berdasarkan Udang-Undang
Nomor 12 tahun 2011 tentang jenis-jenis peraturan perundang-undangan di Negara
Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun1945
2) Ketetapan MPR
3) Undang-Undang/ PERPU
4) Peraturan Presiden
5) Peraturan Daerah provensi
6) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota[26]
Peraturan perundang-undangan yang
tertinggi dinegara Republik Indonesia ialah Undang-Undang, yang didalam
pembentukannya dilakukan oleh dua lembaga, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dengan
persetujuan Presiden seperti yang ditetapkan dalam pasal 5 ayat (1), dan pasal
20 UUD 1945. Sebagai suatu peraturan yang dibentuk oleh lembaga Legislatif
(dewan perwakilan rakyat dengan persetujuan presiden) Undang-Undang merupakan
peraturan perundang-undangan yang tertinggi, yang didalamnya telah dijantumkan
sanksi pidana dan sanksi pemaksa, serta merupakan peratursn yang sudah dapat
langsung berlaku mengikat umum.
Peraturan
perundang-undangan secara mendasar merupakan bagian terpenting dalam perjalanan
pemerintahan di Indonesia dewasa ini, hal ini dikeranakan selain menjadi
subsistemhukum terhadap kaidah hukum pada umunya peraturan perundang-undangan
ini juga menjadi pengait dilingkungan tempat berlakunya peraturan tersebut.
Beberapa fungsi dari peraturan perundang-undangan :
a. Fungsi Internal
Yang
dimaksud dengan fungsi internal adalah fungsi peraturan perundang-undangan
sebagai subsistem hukum (hukum perundang-undangan) terhadap sistem kaidah hukum
pada umumnya. Secara internal, peraturan perundang-undangan ,menjalankan
beberapa fungsi :
1) Fungsi penciptaan Hukum
Penciptaan hukum yang melahirkan sistem
kaidah hukum yang berlaku umum dilakukan atau terjadi melalui kaidah putusan
hakim (yurisprudensi). Kebiasaan yang tumbuh sebagai praktek dalam kehidupan
masyarakat atau negara dan peraturan
perundang-undangan sebagai keputusan tertulis pejabat atau lingkungan jabatan
yang berwenang yang berlaku secara umum. Disni nampak bahwa secara tidak
langsung, hukum dapat terbentuk melalui ajaran-ajaran hukum (doktrin) yang
diterima dan digunakan dalam pembentukan hukum itu.
2)
Fungsi Pembaruan Hukum
Peraturan perundang undangan merupakan instrumen yang efektif dalam
pembaruan hukum (law reform) dibanding
dengan penggunaan hukum kebiasaan atau hukum yurisprudensi. Pembentukan
peraturan perundang-undangan dapat direncanakan sehingga pembaruan hukum dapat
pula direncanakan. Fungsi pembaruan tidak saja terhadap peraturan
perundang-undangan yang sudah ada, tetapi dapat dipergunakan sebagai sarana
memperbaharui yurisprudensi, hukum kebiasaan/adat.
3)
fungsi Integrasi Pluralisme sistem Hukum
Pada saat sekarang, di Indonesia masih berlaku berbagai sistem hukum
(empat macam sistem hukum), yaitu sistem hukum kontinental (barat), sistem
hukum adat, sistem hukum agama (khususnya agama islam) dan sistem hukum
Nasional (produk hukum setelah kemerdekaan).
4)
Fungsi kepastian Hukum
Kepastian Hukum merupakan asas terpenting dalam tindakan hukum dan
penegakkan hukum. Peraturan perundang-undangan dapat memberikan kepastian hukum
yang lebih tinggi dari pada hukum kebiasaan/adat atau yurisprudens. Untuk
benar-benar menjamin kepastian hukum, peraturan perundang-undangan selain harus
memenuhi syarat-syarat formal, harus memenuhi syarat-syarat lain,yaitu:
-
Jelas dalam perumusannya
-
Konsisten dalam perumusannya
-
Penggunaan bahasa yang tepat dan mudah
dimengerti
b. Fungsi eksternal
Fungsi
Eksternal adalah keterkaitan peraturan perundang-undangan dengan lingkungan
tempat berlaku. Fungsi eksternal ini dapat disebut sebagai fungsi sosilal
hukum. Dengan demikian fungsi ini dapat juga berlaku pada hukum kebiasaaan/adat
atau yurisprudensi. Fungsi sosial dapat
dibedakan:
1)
Fungsi perubahan
Hukum
juga dikeanl sebagai sarana pembaharuan (law
as social enegnering). Peraturan perundang-undangan diciptakan atau
dibentuk untuk mendorong perubahan masyarakat dibidang ekonomi, sosial maupun
budaya.
2)
Fungsi stabilitas
Peraturan
perundang-undangan dapat pula berfungsi sebagai stabilitas. Peraturan
perundang-undangan dibidang pidana, dibidang ketertibaan dan keamanan adalah
kaidah-kaidah yang terutama bertujuan menjamin stabilitas masyarakat.
3)
Fungsi kemudahan
Peraturan
perundang-undangan dapat pula dipergunakan sebagai sarana mengatur kemudahan
(fasilitas). Peraturan perundang-undangan yang berisi ketentuan intensif
seperti keringanan pajak, struktur permodalan dalam penanaman modal merupakan
kaidah-kaidah kemudahan.[27]
Peraturan
perundang-undangan dalam perjalanan pemerintahan tidak sesuai dengan yang
diharapkan, dikarenakan adanya peran dari beberapa elemen masyarakat yang turut
mengkritisi kebijakan pemerintah yang ditetapkan. Hal ini yang meneyebabkan,
ada istilah pengujian peraturan perundang-undangan. Istilah pengujian
perundang-undangan dapat dibagi berdasarkan subjek yang melakukan pengujian,
pengujian dapat dilakukan oleh hakim (toetsingsrecht
van de rechter atau judisial review), pengujian oleh lembaga
legislatif (legislatif review) diatur
baik sebelum maupun sesudah perubahan perundang-undangan masa berlakunya UUD
1945, pertama kali diatur dallam Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang
ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, yang mengatur pengujian terhadap
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang
merupkan kewenangan Mahkamah Agung, sedangkan pengujian undang-undang terhadap
UUD merupakan kewenangan MK.[28]
Pengujian
peraturan perundang-undangan dapat dilihat dari dua persfektif, yaitu
persfektif pelakunyadan waktunya. Dilihat dari persfektif pelakunya, pengujian
peraturan perundang-undangan dapat dilakukan oleh lembaga pembuatnya, oleh
lembaga diluar lembaga pembuatnya. Pengujian peraturan perundang-undangan dari
persfektif waktu dapat dibedakan pengujian peraturan perundang-undangan sebelum
peraturan tersebut mendapatkan bentuk formal dan belum diundangkan sebagaimana
mestinya. [29]
Timbulnya pengujian terhadap peraturan
perundang-undangan tidak lepas dari pengaduan konstitusional , yajni sebagai
slah satu bentuk pengujian konstitusional. Secara konseptual, pengujian
konstitusional harus dibedakan dengan judisial review. Sepanjang pengujian
dilakukan oleh pengadilan dan secara a
pateriori- terhadap norma yang bersifat umum dan abstrak maka pengujian
demikian dapat disebut Judisial review .[30]
Pengujian konstitusional (constitutional review) memiliki dua
tugas pokok yaitu pertama, untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran
antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan peradilan; dalam hal
ini, pengujian konstitusional dimaksudkanuntuk mencegah terjadinya penggunaan
kekusaan oleh salah satu cabang kekuasaan negara dengan mengorbankan cabang
kekuasaan lainnya; kedua untuk melindungi
setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh
lembaga-lembaga sehingga merugikan hak-hak fundamental individu-individu
tersebut yang dijamin oleh konstitusi.[31]
Pengujian
konstitusionalitas norma hukum, dalam hal ini norma undang-undang, sebagai
salah satu bentuk pengujian
konstitusionalitas mempunyai makna tersendiri khususnya dalam sejarah
pertumbuhan gagasan negara hukum. Pengujian konstitusional undang-undang atau judicial reviuwon the constitutionalityof
law, yang kemudian populer disebutsebagai judisal review saja, bertolak dari dasr pemikiran bahwa konstitusi
adalah hukum dasar atau pundamental. Sedangkan pengujian konstitusionalitas
perbuatan dalam hal ini perbuatan kelalaian pejabat publik yang menyebabkan
terlanggarnya hak konstitusional seseorang-bertolak dari dasar pemikiran yang
sama, yaitu penegasan sekaligus jaminan bahwa hak konstitusional itu adalah hak
fundamental, sehingga pelanggaran terhadap yang terjadi karena perbuatan atau
kelalaian pejabat publik merupakan pelanggaran terhadap ketentuan fandamental
yang menjamin hak itu, yakni konstitusi.[32]
Pasal 50 UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang
MK mengatur pembatasan terhadap Undang-Undang yang dapat diuji oleh MK, yaitu
Undang-Undang yang diundangkan sebelum perubahan UUD1945, namun menurut Jimly
asshiddiqie, selain undang-undang , mahkamah konstitusi juga berwenang menguji Perpu, sebab Perpu
merupakan Undang-Undang dalam arti material (wet
in materiele zin). Pendapat yang menyatakan membagi wet in formele zein dan wet informele in materiele zin sebagai
sebuah sudut pandang/persfektif berpendapat bahwa tidak perlu dibedakan secara
kaku karena setiap undang-undang disatu sisi dapat dilihat dari segi formilnya
dan disisi lain dapat puladari segi materilnya secara sekaligus, juga bahwa
daya ikat norma yang terkandung dalam setiap Undang-Undang dapat dibedakannya
daya ikat yang bersifat umum dan daya ikat yang bersifat spesifik.[33]
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Jenis
penelitian/pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum
normatif yaitu penelitian yang objek kajiannya meliputi norma atau kaidah
dasar, asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan, perbandingan hukum,
doktrin, serta yurisprudensi.[34]
Penelitian Normatif merupakan penelitian hukum kepustakaan, karena menjadikan bahan
kepustakaan sebagai tumpuan utama. Dalam penelitian hukum normatif ini penulis
melakukan penelitian terhadap asas-asas hukumdan Jenis penelitian/pendekatan
yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif yaitu hukum
kepustakaan, karena menjadikan bahan kepustakaan sebagai tumpuan utama. Dalam
penelitian hukum normatif ini penulis melakukan penelitian terhadap asas-asas
hukumdan sistematika hukumyang bertitik tolak dari bidang-bidang tata hukum
tertentu, dengan cara mengadakan identifikasi terlebih dahulu terhadap
kaidah-kaidah hukum yang telah dirumuskan didalam perundang-undangan tertentu.
B. Jenis danSumber
Bahan Hukum
Jenis dan sumber hukum yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum
yang diperoleh melalui study kepustakaan. Dalam penelitian hukum normatif,
sumber datanya yang dibedakan menjadi 3
(tiga) bagian, yaitu :
a. Bahan Hukum Primer,yakni
bahan-bahan ilmu hukum yang berhubungan erat dengan permasalahan yang di teliti
yaitu :
1)Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
2)Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden.
3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003.
4) Buku
5) Jurnal Hukum
b.Bahan Hukum Sekunder, yakni
bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan atau membahas lebih hal-hal yang
diteliti pada bahan-bahan primer yaitu :
1)Kamus Hukum, pendapat-pendapat yang relevan dengan masalah yang di teliti
serta data tertulis yang terkait dengan penelitian.
2) Berbagai makalah, surat kabar, majalah, dokumen dan data-data dari
internet yang berkaitan dengan penelitian.
c.Bahan Hukum Tersier, yakni
bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum Primer dan
Sekunder, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.
C.Teknik
Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik
pengumpulan bahan hukum yang digunakan
dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research).
Studi kepustakaan ialah suatu metode yang
berupa pengumpulan bahan-bahan hukum, yang diperoleh dari buku pustaka atau
atau bacaan lain yang memiliki hubungan dengan pokok permasalahan. Dalam
penelitian ini penulis mencari dan mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan baik
berupa peraturan perundang-undangan, buku, hasil-hasil penelitian hukum,
skripsi, makalah-makalah, surat kabar, artikel, majalah/jurnal-jurnal hukum
maupun pendapat para sarjana yang mempunyai dengan judul penelitian ini yang
dapat menunjang penyelesaian penelitian ini.
D. Analisis
Bahan Hukum
Dalam
penelitian ini analisis yang dilakukan adalah kualitatif merupakan tata cara
penelitian yang menghasilkan data deskriptif yaitu apa yang dinyatakan secara
tertulis.Selanjutnya, penulis menarik suatu kesimpulan secara deduktif, yaitu
menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum kepada hal-hal yang bersifat
khusus. Dimana dalam mendapatkan suatu kesimpulan dimulai dengan melihat
faktor-faktor yang nyata dan diakhiri dengan penarikan suatu kesimpulan yang
juga merupakan fakta dimana kedua fakta tersebut dijembatani oleh teori teori
hukum.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.PutusanMahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013
Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentangpemilihan Umum
Presiden Dan Wakil Presiden Berdasarkan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 merupakan jawaban dari
duduk perkara uji materi pasal 3 ayt (5), pasal 9, pasal 12 ayat (1)dan (2),
Pasal 14 ayat (2) dan pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 yakni:
Pasal 3 Ayat (5) “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah
pelaksanaan Pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD”.
Pasal 9 “Pasal Calon diusulkan oleh partai Politik atau Gabungan Partai
Politik pesrta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit
20% (dua puluh pesen)) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 % dari suara
sah Nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden.
Pasal 12 ayat (1) dan (2) “(1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik
dapat mengumumkan bakal calon Presiden dan/atau bakal calon wakil Presiden dalam kampanye pemilihan umum anggota DPR,
DPD, DPRD. (2) Bakal Calon Presiden dan/atau Wakil Presiden tang diumumkan oleh
partai Politik atau gabungan partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus sudah mendapatkan persetujuan tertulis dari bakal calon yang
bersangkutan”.
Pasal 14 ayat (2) “Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 13,
paling lama 7 hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu
anggota DPR”
Pasal 112 “Pemungutan suara pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan
paling lama 3 bulan setelah pemungutan hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD,
DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota”.
Terhadap pasal 1 ayat (2), pasal 4
ayat (1), pasal 6A ayat (2), pasal 22E ayat (1) dan (2), pasal 27 ayat (1),
pasal 28D ayat (3), pasal 28H ayat (1), dan pasal 33 ayat (4) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yakni:
Pasal 1 ayat (2) “Kedaulatan berada ditangan Rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Udang Dasar”.
Pasal 4 ayat (1) “ Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintah menurut Undang-Undang Dasar”
Pasal 6A ayat (1) dab (2) “(1) Presiden dan wakil Presiden dipilih dalam
suatu pasangan dalam pemilihan langsung oleh rakyat, (2) Pasangan calon
Presiden dan wakil Presiden diusulkan oleh Partai politik atau gabungan Partai
Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
Pasal 22E ayat (1) dan (2) “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. (2) Pemilihan
umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden Dan Wakil Presiden Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Pasal 27 ayat (1) “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya”.
Pasal 28H ayat 1(1) “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Pasal 33 ayat (4) “Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi dengan prinsip
kebersamaan , efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional”.
Uji materi ini diajukan Oleh Effendi Gazali, Ph.D,.M.P.S.I.D, M.Si
berdasarkan pasal 51 ayat (1) UU MK yang menetukan bahwa “Pemohon adalah Pihak
yang hak dan atau kewengan konstitusionalnya, telah dirugikan oleh berlakunya
Undang-Undang” yaitu perseorangan warga negara Idonesia (termasuk kelompok
orang yang mempunyai kepentingan sama).
Pemohon didaftarkan di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 10
Januari 2013 berdasarkan Akta penerimaan Berkas Pemohon Nomor 37/PAN-MK/2013
dan telah dicatat dalam buku registrasi perkara Konstitusi pada tanggal 22
Januari 2013 dengan Nomor 14/PUU-XI/2013, yang telah diperbaiki dengan
perbaikan permohonan terakhir bertanggal 20 Februari 2013 dan diterima didalam
persidangan tanggal 20 Februari 2013.
Adapun alasan-alasan Pemohon sebagai berikut:
1. Bahwa meskipun Pasal ayat (5) dan pasal 9 UU Nomor 42 tahun 2008 telah
pernah dimintakan pengujian dihadapan MK seperti sebagaimana dalam Putusan MK
NO 51-55-59/PUU-VI/2008 dan dalam Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi yang
lain;
2. Namun demikaian berdasarkan ketentuan:
a. pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 8 tahun 2011
perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
,menyatakan;
1) Terhadap Materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagiandalam
Undang-Undang yang telah diuji, tidak
dapat dimohonkan pengujian kembali.
2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan
jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda”
b. Berdasarkan ketentuan pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Mahkamah
Konstitusi nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman beracara dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang menyatakan:
1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang
yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
2) Terlepas dari ketentuan ayat (1) diatas, permohona pengyjian
Undang-Undang terhadap muatan ayat, pasal dan/atau bagian bagian yang sama
dengan perkara yang pernah diputus oleh mahamah Konstitusi dapat dimohonkan
pengyjian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan
permohonan yang bersangkutan berbeda.
Atas dasar tersebut, Pemohon bermaksud melakukan pengujian kembali pasal
tersebut denga alsan konstirusional dan kerugian konstitusional yang berbeda,
Adapun alasan-alasan konstitusionalnya antara lain:
1. Banyaknya anggaran Negara yang dikeluarkan oleh pemerintah pemilu yang
secara terpisah
2). Hak warga negara untuk memilih secara cerdas berdasarkan pasal 22E ayat
(1) dan (2)
3. Hak warga negara untuk memilih secara cerdas dan efisien .
4. Banyak terjadi politik transksional yang berlapis-lapis.
5. Untuk memeprkuat sistem presidensial
Secara mutatis mutandis bertentangan dengan UUD 1945, karena bertentangan
dengan spirit pelaksanaan Pemilu serentak sesuai dengan UUD1945 dan harus dinyatakan
tidak memepunyai kekuatan hukum mungikat.
Bahwa berdasarkan alasan-alasan hukum yang telah diuraikan tersebut diatas,
maka pemohon meminta agar Mahkamah konstitusi Republik Indonesia dapat
mengabulkan hal-hal berikut;
1. Mengabulkan permohonan yang dimohonkan pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan pasal 3 ayat (5), Pasal 9, pasal 12 ayat (1) dan (2), pasal
14 ayat (2) dan pasal 122 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden
(Lembaran Negara RI Nomor 176, tambahan lembaran negara RI Nomor
4924) bertentangan dengan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia
Tahun1945
3. menyatakan pasal 3 ayat (5), pasal 9, pasal 12 ayat (1) dan (2), pasal
14 ayat (2) dan pasal 112 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilihan umum Presiden dan wakil Presiden
(Lembaran Negara RI Nomor 176, tambahan lembaran Negara RI Nomor
4924) tidak memepunyai kekuatan hukum mengikat
4. memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Berangkat
dari permohonan
uji materi undang-undang Nomor 42 tahun 2008 tentang pemilihan presiden dan wakil presiden,
yang diajukan Aliansi masyarakat sipil untuk pemilu serentak, Efendi Gasali dan
kawan kawan. Mahkamah Konstitusi dalam Putusanya Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang pengujian
Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemlihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden ini, Mahkamah Konstitusi menyatakan dan mengabulkan Pemilihan Umum
secara serentak akan tetapi pelaksanaannya baru dilaksanakan pada tahun 2019.
Ketua Mahkamah Konstitusi daam pertimbanganya menyatakan, jika Pemilu serentak
dilaksanakan pada tahun 2014, maka tahapan pemilu saat ini yang sedang
berlangsung menjadi terganggu dan terhambat karna kehilangan dasar hukum.
Selain itu Ketua Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan,
jangka waktuyang tersisa tidak memungkinkan atau tidak cukup memadai untuk
membentuk peraturan perundang-undangan yang baik dan konfrehensif jika pemilu
serentak digelar pada tahun 2014.
Dalam Amar putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 14/PUU-XI/2013
mengadili, menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan pasal 3 ayat
5, pasal 12 ayat 1 dan 2, pasal 14 ayat 2 dan pasal 112 tentang pemilihan umum
presiden dan wakil presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945.
2. Amar putusan dalam angka satu diatas berlaku untuk penyelenggaraan
pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan selanjutnya.
Putusan
Mahkamah konstitusi yang bersifat mengatur dalam pengujian Undang-Undang Nomor
42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dalam
prespektif hukum responsif, menunjukkan bahwa para Hakim Konstitusi telah
menunjukkan sikap yang mampu mengadopsi paradigmabaru dan meninggalkan
paradigmalama. Dari paradigmapositivesme yang berorentasi pada formalistic-legalistik menuju paradigma post positivismdengan nuasa hukum
progresifnya. Hukum tidak lagi dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri
melainkan dia harus mampu berinteraksi dengan entitas lain dengan tujuan pokok,
untuk mengadopsi kepentingan-kepentingan yang ada di masyarakat. Hukum tidak
hanya dilihat dari kacamata teks undang-undang belaka, melaikan menghidupkannya
dalam konstektualitasnya.
Sikap hakim
konstitusi dalam putusan mengatur di atas menunjukkan bahwa tidak selalu mendasarkan
pada pertimbangan yuridis dan otonom teks undang-undang, melainkan mencoba
melihat sebuah persoalan dari berbagai perspektif dalam rangka untuk mewujudkan
apa yang disebut keadilan substantif.Kita lihat dari Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, menurut Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M. Gaffar
mengatakan Mahkamah tidak dalam tekanan pihak mana pun dalam memutus uji materi
Undang-Undang Pemilihan Presiden. Janedjri mengklaim proses pembacaan putusan
pun sudah sesuai prosedur. "Kalau ada yang bilang kami ditekan atau
diintervensi itu tidak benar," kata Janedjri, di kantornya, Selasa, 28
Januari 2014. "Karena boleh dibuktikan kami sudah melakukan sesuai dengan
prosedur." Janed merinci alur berkas perkara pengajuan UU Pilpres itu
sampai diputuskan pada 23 Januari, kemarin. Menurut dia, terdapat tujuh kali
lagi rapat permusyawarahan hakim (RPH) setelah keputusan diambil pada 26 Maret
tahun lalu, semua tahapan yang dilalui telah sesuai dengan hukum acara mahkamah
konstitusi.[35]
Pada
dasarnya, putusan MK yang bersifat konstitusional berefek segera setelah
putusan.Namun putusan MK tersebut tidak dapat dijalankan di pemilu tahun 2014
dengan argumentasi bahwa hal demikian dapat menyebabkan pelaksanaan pemilihan
umum pada tahun 2014 mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidak pastian hukum
yang justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan UUD 1945.
Langkah
membatasi akibat hukum dari suatu putusan atau Penangguhan berlakunya akibat
hukum suatu putusan, bukanlah sesuatu yang baru dalam praktik peradilan, dalam
hal ini peradilan Konstitusi, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Manakala
akibat hukum dari suatu pembatalan norma dirasa akan menimbulkan keguncangan
atau chaosticapabila diberlakukan seketika itu juga, maka pada saat itulah
muncul terobosan dari para hakim untuk menangguhkan berlakunya akibat
hukum(rechtsgevolg) guna menghindari keguncangan yang tidak dikehendaki.
Penangguhan tersebut sekaligus juga dimaksudkan untuk memberi waktu bagi
pembuat undang-undang untuk memperbaiki dan membentuk norma baru sesuai tafsir
MK. Sehingga keguncangan akibat pembatalan suatu norma dapat diatasi atau
setidak-tidaknya dapat dikendalikan melalui penangguhan tersebut. Dalam pada
itulah Mahkamah Konstitusi RI juga melakukan penangguhan berlakunya akibat
hukum dari putusannya.
Sepanjang
sejarah MK, sudah ada 3 putusanMK yang menangguhkan berlakunya akibat hukum
dari suatu putusan, termasuk Putusan Pemilu serentak ini. Setidak-tidaknya
terdapat dua tujuan utama mengapa MK menangguhkan akibat hukum putusannya
sendiri; Pertama, untuk menghindari kekacauan karena sesuatuhal telah
kehilangan dasar hukumnya akibat pembatalan suatu norma oleh MK. Kedua,
memberikan kesempatan (waktu) kepada pembentuk UU untuk menindaklanjuti putusan
MK, sehingga kekosongan hukum akibat pembatalan tersebut dapat diisi dan ketika
akibat hukum putusan tersebut mulai berlaku, baik aturan hukumnya maupun teknis
pelaksanaannya sudah siap. Itulah kurang lebih ratio logis dibalik putusan
penangguhan berlakunya akibat hukum Putusan MK.
. Terlepas
dari penjelasan serta alasan-alasan diatas, menurut hemat penulis, penangguhan
berlakunya akibat hukum Putusan MK adalah sesuatu kekeliruan yang dilakukan MK
dalam menetapkan putusan, apabila dilihat dari kacamata hukum Positive.
Karena melalui putusannya MK hanya dapat mengabulkan permohonan dengan
menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, bagian atau keseluruhan UU
bertentangan dengan UUD 195. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam pasal 57 ayat
(1) UU MK yang menyebutkan, putusan MK yang amar putusannya yang menyatakan
bahwa materi muatan ayat pasal dan atau bagian dari UU bertentangan dengan UUD
1945 tidak mempunyai kekuatan hukum Mengikat. Ketentuan tersebut memperlihatkan
bahwa putusan MK dalam perkara pengujian UU dengan UUD 1945 adalah menyatakan
materi muatan pasal ayat dan atau bagian dari UU tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Dalam konteks inilah MK memerankan diri sebagai a negative legislator atau pembatal norma dan bukan pembuat norma
atau positive legislator. Sebagai
negatif legislator, MK hanya bisa menghilangkan norma yang ada dalam suatu
Undang-Undang bila bertentangan dengan UUD 1945 karena MK tidak Boleh
menambahkah norma baru kedalam UU tersebut yang sesungguhnya menjadi kewenangan
lembaga legislatif. Hal ini tegas dinyatakan dinyatakan dalam UU No 24 tahun
2003, yang menyatakan MK sebatas mengahapus norma.
Apabila dikaitkan
dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK
yang berbunyi “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”, maka penagguhan
berlakunya akibat hukum Putusan MK melanggar atau bertentangan dengan bunyi Pasal
10 ayat (1).Makna frasa “..... memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan ....”jika ditafsirkan
menggunakan metode gramatikal dan sistematis ialah bahwa Putusan MK memperoleh
kekuatan hukum tetap atau inkracht van
gewijsdedalam arti mengikat dan final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C
ayat (1) UUD, sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Sehingga
tidak dimungkinkan upaya perlawanan terhadapnya. Makna “memperoleh kekuatan
hukum tetap sejak selesai diucapkan” berarti bahwa putusan itu harus berlaku
dan dilaksanakan seketika itu juga.
Pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi “Putusan
Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang
dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding)”.[36]Yang
dimaksud dengan putusan yang bersifat final yaitu segala perbuatan hakim yang
diucapakan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk
mengakhiri sebuah sengketa, dan apabila sebuah putusan kurang bisa
dimengertiatau banyak menimbulkan tanda tanya maka kita harus kembali melihat
ke dalam pertimbangan hukumnya dan amar putusan sebuah putusan dan di dalam
sebuah putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat adalah amar
putusannya, jadi dalam putusan ini yang menjadi tolak ukur kita di dalam
menafsirkan putusan Hakim Mahkamah yang bersifat final yaitu poin-poin yang
terkandung di dalam amar pututusannya, apa saja yang terkandung di dalam amar
putusannya, maka itulah yang menjadi hukum yang mengikat seketika tanpa adanya
sebuah upaya hukum.
Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa tahapan pemilu 2014 telah berjalan dan karna batas waktu yang
telah mencapai tahap akhir sehingga mahkamah memutuskan perberlakuan putusan
pemilu serentak tersebut diberlakukan tahun 2019. Dalam hal ini penulis kurang
setuju dengan alasan hakim konstitusi, karena akan lebih baiknya mahkamah
bertanya kepada KPU selaku institusi yang berwenang dalam penyelenggaran
pemilu, apakah pemilu serentak tersebut bisa dilaksanakan pada tahun2014 ini
atau tidak, akan tetapi fakta di persidangan menunjukkan bahwa Mahkamah
Konstitusi tidak pernah meminta pedapat dari KPU.
B.Implikasi Hukum Dalam Pembatalan
Beberapa Pasal Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Presiden Dan Wakil Presiden
a).Yang
pertama kita lihat dari aspek pemberlakuanputusannya, menurut pakar hukum tata
negara, Dr. Margarito Kamis dari Fakultas Hukum Universitas Khairun
Ternate.Keputusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan pengujian Undang-Undang No 42
Tahun 2008 tentang Pilpres menjadi polemik tersendiri. Kendati telah diputuskan
pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dihelat serentak, namun
dalam implementasinya keputusan tersebut baru berlaku pada pemilu 2019. Putusan
Mahkamah KonstitusiNomor 14/PUU-XI/2013, menyatakan mengabulkan permohonan
pemohon untuk sebagian, Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 14
ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan UUD 1945. Pasal-pasal yang dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 tidak menimbulkan akibat hukum yang fundamental,
kecuali Pasal 112 UU No. 42 Tahun 2008, karena dalam amar putusannya secara
tegas menyatakan pasal ini bertentangandengan konstitusi. Akibat hukum yang
paling fundamental, yang ditimbulkan dari pernyataan Mahkamah Konstitusidalam
amar putusannya bahwa pasal 112 bertentangan presiden harus dilaksanakan secara
bersamaan.
Menyadari akibat hukum yang fundamental itu, maka Mahkamah
Konstitusimenyiasatinya dengan menyatakan, amar putusan tersebut diatas berlaku
untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum
seterusnyaSecara konstitusional atau dalam tataran teoritik, siasat Mahkamah
Konstitusitersebut menimbulkan masalah karena dalam pasal 47 UU Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi berisi ketentuan sebagai berikut : Putusan
Mahkamah Konstitusimemperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan
dalam sidang pleno terbukauntukumum. Maka ketentuan hukumnya pasal 112 UU No.
42 Tahun 2008 tentang pemilihan presiden dan wakil presiden, yang dinyatakan
Mahkamah Konstitusibertentangan dengan UUD 1945, berlaku positif sejak putusan
Mahkamah Konstitusidibacakan. Karena putusan tersebut di bacakan tanggal 23
Januari 2014 maka keputusan tersebut berlaku sejak tanggal tersebut, sehingga
pasal 112 tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal-Pasal yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, kehilangan sifat positifnya sebagai hukum,
sehingga tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk melakukan tindakan hukum yang
sah. Sehingga seharusnya Komisi Pemilihan Umum tidak bisa lagi menggunakan
pasal 112 UU Pilpres sebagai dasar penyelengaraan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden pada tahun 2014 ini.Pendapat senada disampaikan juga oleh Yusril Ihza
Mahendra, bahwa setiap putusan Mahkamah Konstusiyang sudah diketok dan
dibacakan, Secara otomatis berlaku sejak diucapkan oleh majelis hakim.Namun
dalam konteks putusan pengujian undang-undangPilpres, Mahkamah Konstitusi
memerintahkan agar pemilu serentak (yang berarti sesuai Konstitusi) dilaksanakan
pada tahun 2019. Karena landasan untuk penyelenggaraan Pemilu 2014
inkonstusional, maka hasil dari Pemilu 2014 juga inskonstitusional.
Konsekuensinya DPR, DPD, DPRD dan Presiden serta Wakil Presiden terpilih dalam pemilihan
legislatif dan pemilihan presiden2014 juga inkonstitusional.
Secara
teoritik, terdapat dua akibat hukum lanjutannya yang bisa diidentifikasi,
pertama, akibat hukum pra Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, adalah gugatan
terhadap keputusan-keputusan KPU meliputi : penetapan tahapan Pilpres,
penetapan pasangan calon, dan pengadaan barang dan jasa. Kedua, akibat hukum
pasca Pilpres adalah gugatan terhadap keabsahan Presiden dan Wakil Presiden
terpilih. Semua gugatan akan dialamatkan ke Pengadailan Tata Usaha Negara di Jakarta,
karena locusnya ada di Jakarta.Sebagai solusinya secara hukum bisa dilakukan
dengan Presiden menerbitkan Perppu mencabut Pasal 9 UU No 42 Tahun 2008, dimana
pasal tersebut berisi ketentuan pasangan calon presiden dan pasangan calon
wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan suara paling sedikit 20 %
dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25 %dari suara sah nasional. Apabila
pasal 9 ini dihapus/dicabut, maka pemisahan pemilihan presiden dan pemilihan
presiden tersebut sah, karena sudah sesuai dengan norma dan pasal 6A ayat (2)
UUD 1945.
Sedangkan secara
politik perlu diciptakan suasana demam politik, Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden pada tahun 2014 dengan dukungan dari semua pihak. Pemilihan umum
presiden dan wakil presiden tahun 2014 ini perlu melibatkan Ormas yang punya
pengaruh besar, seperti PP Muhammadiyah, PB Nahdatul Ulama, Persatuan Gereja
Indonesia dan lain sebagainya. Pemerintah perlu mendorong pihak-pihak terkait
terutama para pemuka opini untuk turut berpartisipasi agar Pemilu tetap
berjalan dengan lancar dan aman. Implikasi atas keputusan Mahkamah
Konstitusitersebut, harus diminimaliser agar tidak ada peluang bagi pihak-pihak
yang kalah dalam pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden untuk menggugat
hasil pemilihan karena pelaksanaan Pemilu tahun 2014 masih dianggap ilegal.
b) Berdampak kepada ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan dan sistem pemilu,
baik Pilpres maupun Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan, telah dibuat dan diimplementasikan
sedemikian rupa. Demikian juga persiapan-persiapan teknis yang dilakukan oleh
penyelenggaratermasuk persiapan peserta pemilihan umum dan seluruh masyarakat
Indonesia telah sampai pada tahap akhir.
c. Dihapusnya ketentuan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yaitu Pasal (3) Ayat (5),
Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2), serta Pasal 112yang betentangan dengan
ketentuan Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2), Pasal
22E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D
ayat (3), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33ayat (4) UUD 1945.
d.Dengan diputuskannya Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 dan
ketentuan yang lain yang berkaitan dengan tata cara dan persyaratan pelaksaan Pilpres
maka diperlukan aturan baru sebagai dasar hukum untuk melaksanakan Pilpres pada
tahun 2019 nantinya. Sebagai dasar hukum untuk melaksanakan Pilpres dan Pemilu
Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak. Berdasarkan Pasal 22E ayat (6) UUD
1945, ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum haruslah diatur dengan undang-undang
yang baru, karena undang-undang yang telah dianggap bertentangan dengan UUD
1945 hanya bisa digantikan dengan undang-undang juga yaitu undang-undang yang
baru.
e. Biaya/Aggaran pemilu, Selama ini, honor penyelenggara pemilu merupakan
komponen terbesar biaya pemilu, memakan hingga 65 persen dana pemilu. Besarnya
honor ini terkait jumlah tempat pemungutan suara (TPS) di Indonesia sangat banyak,
mencapai 500 ribu. Setiap TPS ini ditunggui tujuh orang petugas Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS). Dengan demikian, total jumlah anggota KPPS ini sekitar
3,5 juta orang. Jika honor setiap anggota KPPS dirata-ratakan Rp 300 ribu per
orang, maka biaya yang dibutuhkan untuk satu pemilihan, katakan presiden,
adalah 1 triliun. Ini belum termasuk honor Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang
berjumlah 3 orang setiap kelurahan/desa. Ada 77.465 desa/kelurahan di
Indonesia. Belum lagi honor anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), 5 orang
per kecamatan di 6.694 kecamatan; honor anggota Panitia Pengawas Lapangan
(PPL), yang jumlahnya 1-5 orang per desa; honor Panwaslu Kecamatan, yang jumlahnya
tiga orang per kecamatan, dan biaya-biaya honor lainnya untuk kesekretariatan
dan sebagainya, sesuai dengan pernyataan Komisioner Divisi Humas KPU, Dr. Ferry
Kurnia Rizkiyansyah, S.I.P, M.Si, bahwa pemilu serentak akan mengefisiensi
setidaknya 7 hal: pemutakhiran data pemilih, sosialisasi, perlengkapan TPS,
distribusi logistik, perjalanan dinas, honorarium, dan uang lembur. Total biaya
yang bisa dihemat mencapai 5-10 Triliun Rupiah. Pemilu Serentak Kepala Daerah
juga akan mengurangi militansi pada hanya satu calon kepala daerah, pengurangan
biaya kampanye karena dapat dilakukan bersama-sama, serta amat berkurangnya para
donatur atau ”cukong” yang bermaksud menanam modal terlebih dahulu dan
selanjutnya akan mendapatkan aneka proyek dengan cara-cara yang koruptif, hal
ini sejalan dengan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 “ perekonomian nasional diselenggarakan
berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
f. Sistem pemilu yang sederhana dan memberikan ruang yang luas untuk masyarakat
dalam berpartisipasi di pemilu berikutnya, warga Negara Indonesia memiliki
aktivitas dan kesibukan yang berbeda-beda, sehingga dengan pemilu yang terpisah
antara legislatif dan Presiden, terdapat selisih yang cukup tinggi antara warga
Negara yang menggunakan hak pilih dalam Pemilu Legislatif dengan Pemilu Presiden.
Selain itu, terdapat sejumlah besar warga Negara yang tidak menggunakan hak pilihnya
yang dikarenakan keterbatasan waktu dan kesibukan dari masing-masing warga
Negara.
BAB V
PENUTUP
A.Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari
hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis antara lain :
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tidak sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,
karena dalam sifat putusannya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang
bersifat positive legislatureyang
notabene bukanlah kewenangan Mahkamah Konstitusi.
2. Dari pembatalan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden terjadi implikasi hukum terhadap
perubahan dalam sistem Pemilu itu sendiri serta berakibat pula terhadap
penghapusan Pasal 3 ayat (5), pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), pasal 14 ayat (2)
dan pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 dan diikuti pula dengan harus
adanya sebuah undang-undang yang baru untuk penyelenggaraan Pemilu itu sendiri,
berkurangnya dana pemilu dan memberikan ruang yang lebih luas kepada masyarakat
untuk berpartisipasi di dalam pemilu itu sendiri serta melindungi hak masyarakat.
B. Saran
1.Diharapkan kepada pemerintah untuk menindak lanjuti Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 dengan merevisi undang-undang Nomor 42 Tahun
2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan memasukkan substansi
putusan Mahkamah Konstitusi di dalamnya.
2. Diharapkan kepada KPU untuk membuat peraturan KPU yang sejalan dengan
maklumat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013.
DAFTAR
PUSTAKA
A.Buku:
Amos, Abraham. 2007.Katastropi Hukum
dan Quo Vadis Sistem Politik Peradilan Indonesia.PT. Raja Grafindo Persada:Jakarta
.Ashsofa,Burhan. 1996.Metode Penelitian Hukum. PT. Rineka Cipta:Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly. 2006. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang,
Konstitusi Press: Jakarta
_____________.2006. Konstitusi Dan
Konstitusionalisme Indonesia. Sinar Grafik:.Jakarta
_____________.2006. Pengantar Ilmu
Tata Negara. PT. Rajawali Grafindo:Jakarta
_____________.2010.Perihal
Undang-Undang Di Indonesia.sekretaris Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi: Jakarta
_____________2006. Model-Model
Pengujian Konstitusional Di berbagai Negara. Konstitusi Press:Jakarta
_____________2010. Perihal
Undang-Undang. PT. Rajawali Grapindo Persada: Jakarta
Atmadja Gede Dewa I. 2012. Ilmu Negara,.Setara Press: Malang.
Farisda, Maria Indrati Suprapto.2007. Ilmu
Perundang-Undangan (1) (jenis, fungsi, dan Materi muatan).Kanisius:
Yogyakarta
Rasyad, Aslim.2005.Metode
Ilmiah: Persiapan Bagi Peneliti.UNRI Pres: Pekanbaru.
Simorangkir, J.C.T. 2000.Kamus Hukum. Sinar Grafika: Jakarta.
Soekanto, Soerjoeno, Sri Mamudji.Penelitian
Hukum Normatif. SuatuTinjauan
Singkat,PT.Raja Grafindo: Jakarta.
_____________, 1983.Pengantar Penelitian Hukum.UII Pres:Jakarta.
Syahrizal, Ahmad, 2006, Peradilan Konstitusi, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.2010. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.Sekretariat Jendral Dan Kepanitraan
Mahkamah Konstitusi
B.
Jurnal/Kamus/Makalah:
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013
C. Peraturan
Perundang-undangan:
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316.
Undang-Undang Nomor 48 tahun
2009 tentang kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234.
Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor: 06/PMK/2005 tentang Pedoman beracara dalam perkara pengujian
Undang-Undang.
D. Website:
http://nasional.kompas.com/read/2014/01/24/0320388/Yusril.Putusan.MK.soal.Pemil.Serentak.Sebabkan.Kevakuman.Hukum,
diakses, tanggal, 07 April 2014.
http://dindyputri.blogspot.com/2012/06/asas-asas-pemilu.html, diakses,
tanggal 15 juli 2014
.http://www.mimbar-rakyat.com/detail/inilah-tata-cara-hakim-mahkamah-konstitusi-memutus-perkara,diakses,
tanggal, 29 Agustus 2014.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=4719diakses
tanggal 29 Agustus 2014.
http://pjminews.com/index.php?page=artikel&id=368,diakses,tanggal, 10 Oktober
2014.
[1] J.C.T. Simorangkir, Kamus Hukum,
Sinar Grafika, Jakarta: 2000, hlm. 104.
[2] H.F. Abraham Amos, Katastropi
Hukum dan Quo Vadis Sistem Politik Peradilan Indonesia, PT.
Raja
Grafindo Persada, Jakarta: 2007, hlm. 226.
[3] Ahmad Syahrizal, Peradilan
Konstitusi, PT. Pradnya Paramita,Jakarta: 2006, hlm. 55.
[4] Ibid. hlm.56.
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah
Konstitusi Indonesia, diakses, tanggal, 15 februari
[6] Ahmad Syahrizal, Op.cit, hlm.
259.
[7]http://nasional.kompas.com/read/2014/01/24/0320388/Yusril.Putusan.MK.soal.Pemilu.Serentak.Sebabkan.Kevakuman.Hukum,diakses,
tanggal, 07 April 2014
[8]Iksan Rosyida. 2004. MK memahami keberadaannya dalam sistem
ketatanegaraan RI. Jakarta: Renika Cipta. Hlm 7.
[9]Jimly Asshidiqy.2010.Perihal Undang-Undang Di Indonesia.sekretaris
Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: Jakarta.hlm 6
[10]Lihat UU No 5 Tahun 2004
[11]Lihat UUD 1945 Pasal 24C
[12]Asshiddiqie, Jimly. 2006. Hukum
Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press: Jakarta.Hlm. 35
[13]Soedarsono. 2005.Mahkamah Konstitusi Sebagai pengawal
Demokrasi: Jakarta.Press.Hlm 3
[14]Martitah. 2011.Mahkamah Konstitusi dari Negative
Legislature ke Pisitive Legislature.Jakarta.Konstitusi Press. Hlm 10
[15]Mahkamah Konstitusi.2009. Mengawal Demokrasi menegakkan keadilan
substantif. Jakarta: Konstitusi Press. Hlm 25
[16]Ahmad
Syahrizal,, 2006, Peradilan Konstitusi,
PT. Pradnya Paramita, Jakarta.Hlm 45
[17]Ibid.Hlm 70
[18]Ibid. Hlm 38
[19]Ibid. Hlm 45-46
[20]Ibid. Hlm. 50
[21]Ibid. Hlm. 55
[22]Jimly Asshidiqie,2006 Hukum Acara
Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press,Jakarta.Hlm 10-11
[23]Ibid. Hlm.12
[24]Ibid. Hlm. 13
[25] Ibid. Hlm. 16-17
[26] Lihat Undang-Undang Nomor 12
tahun 2011
[27]Ibid. Hlm. 21-23
[28]Abdul Latief.2007.Fungsi MK Dalam Upaya Mewujudkan Demokrasi. Jogja:
Kreasi Total Media Press.Hlm 55
[29] Ibid. Hlm 56.
[30] Ibid.Hlm 58
[31] Ibid. Hlm 59
[32] Ibid. Hlm 61
[34]
Amiruddin & Zainal Asikin.2004..Pengantar Metode Penelitian
Hukum.Jakarta:Raja Grafindo Persada,hlm 119
[35]http://pjminews.com/index.php?page=artikel&id=368,
diakses, tanggal, 10 Oktober 2014
[36]Lihat Undang-Undang UU No 8 Tahun
2011 perubahan UU No 24 tahun 2003 pasal 10 ayat (1)
Komentar
Posting Komentar