Analisis Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang PemilihanUmum Presiden Dan Wakil Presiden Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
 Dalam konsep negara hukum, keberadaan norma-norma hukum yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat guna mencapai suatu ketertiban, merupakan karakter umum dari negara yang diselenggarakan oleh hukum.[1]Kehidupan dalam masyarakat yang sedikit banyak berjalan dengan tertib dan teratur ini didukung oleh adanya suatu tantanan. Karena adanya tatanan inilah kehidupan menjadi tertib. Pandangan ini menjelaskan fungsi utama hukum untuk menciptakan keadilan akibat adanya ketertiban, yang diorganisasikan oleh lembaga-lembaga formil dan informil,yang masing-masing merujuk kepada hukum tertulis dan tidak tertulis.[2]
Negara hukum adalah konsep yang selalu saja mengalami implikasi makna menjadi dalam negara berlaku hukum. Padahal filosofi negara hukum meliputi pengertian, ketika negara melaksanakan kekuasaannya, maka negara tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya, ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis. Akan tetapi, jika pengawasan hukum atas kekuasaan negara tidak memadai, pengertian substantif negara hukum akan terperosok ke dalam kubangan lumpur negara yang kuasa. Jika kondisi demikian berlangsung terus, maka negara itu lebih tepat disebut sebagai negara yang nihil hukum. Dalam negara seperti ini bila dipandang secara kasat matamemang terdapat seperangkat aturan hukum. Tetapi hukum itu tidak lebih dari sekedar perisai kekuasaan yang membuaat kekuasaan steril dari hukum dan melahirkan negara yang semata-mata dikendalikan oleh kekuasaan.[3]
Untuk memahami perkembangan konsep negara hukum, secara empiris dapat dikatakan sebagai objek kajian yang tidak bisa terpisah dari perkembangan fungsi yudisial dalam melaksanakan pengujian hukum secara formil dan konsep negara hukum yang awalnya bersifat transedental menjadi lebih nyata atau konkret dirasakan oleh masyarakat luas. Karena melalui sistem pengujian seperti ini diperkirakan hak-hak konstitusional masyarakat yang dilanggar oleh produk hukum dapat dikembalikan pada hakikatnya semula. Untuk itunegaramembutuhkansuatu lembaga independen yang bertugas untuk menguji hukum yang ada di dalam masyarakat.[4]
Lembaran awal sejarah praktik pengujian undang-undang (judicial review) bermula di Mahkamah Agung Amerika Serikat saat dipimpin John Marshall dalam kasus Marbury lawan Madison tahun 1803. Kendati saat itu konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur pemberiaan kewenangan untuk melakukan judicial review kepada Mahkamah Agung, tetapi dengan menafsirkan sumpah jabatan yang mengharuskan untuk senentiasa menegakkan suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi.[5]Bangsa Indonesia sudah lama mendambakan kehadiran sistem kekuasaan kehakiman yang dapat digunakan untuk menguji produk hukum di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Oleh sebab itu, Undang-Undang Dasar diproyeksikan sebagai satu-satunya simbol atas tegaknya negara yang diselenggarakan berdasarkan hukum.
 Bila ditarik ke belakang pada periode berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Mahkamah Agung tidak diberi peran sebagai pelindung undang-undang dasar. Akibatnya hak menguji tidak menjangkau undang-undang melainkan hanya dibatasi berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) yang menentukan apakah peraturan perundangan di bawah undang-undang bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.[6]Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presidan dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 24c ayat (1) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, artinya dalam hal ini Mahkamah Konstitusi merupakan batu uji bagi undang-undang dibawah di bawah UUD 1945 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyatakan bahwa secara hirarkis kedudukan UUD 1945 adalah lebih tinggi dari undang-undang oleh karna itu setiap ketentuan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan UUD 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, pemilu Presiden dan Wakil Presidendengan pemilu Legislatif dilaksanakan secara terpisah, hal ini juga banyak medapat sorotan dari berbagai kalangan masyarakat, karena pemilu terpisah tersebut dinilai tidak efisien. Selain biayannya yang cukup besar, pelaksanaan pemilu tidak serentak telah menimbulkan kerugiaan hak konstitusonal warga negara sebagai pemilih.
Apabila pemilu serentak diterapkan maka akan dapat menghemat uang negara sebesar 120 triliun.Atas dasar itu, pakar komunikasi politik, Effendi Gazali mempersoalkan sejumlah pasal dalam Undang-UndangNomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi. Effendi memohon pengujian konstitusionalitas Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan ayat(2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2008 Nomor176, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 4924), (selanjutnya disebut UU 42/2008) Dalam amar putusan, majelis hakim konstitusi menyatakan bahwa putusan tersebut hanya berlaku untuk Pemilu 2019 dan seterusnya. Permohonan yang tidak dikabulkan adalah uji materi atas Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan yang mengatur tentang besaran batas minimal perolehan suara partai politik untuk dapat mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential treshold). Mahkamah Konstitusi menyatakan pula bahwa putusan tidak dapat digunakan untuk Pemilu 2014
agar tidak muncul ketidakpastian hukum. Dalam pertimbangan putusan, Mahkamah Konstitusi menilai tahapan Pemilu 2014 sudah memasuki tahap akhir. Bila seperti lazimnya putusan berlaku seketika setelah dibacakan, majelis menilai yang terjadi adalah terganggunya Pemilu 2014. Meskipun lima dari enam gugatan uji materi dikabulkan, di luar isu presidential treshold, majelis berpendapat pelaksanaan Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 dengan segala akibat hukumnya, harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional. Putusan ditandatangani delapan hakim konstitusi, dengan dissenting opinionatau pendapat berbeda yang disampaikan Maria Farida Indrati.[7]
Dari dinamika putusan Mahkamah Konstitusi yangdi luar kebiasaan ini mengundang berbagai pendapat para ahli hukum tata negara salah satunya ialah Yusril Ihza Mahendra ia berpendapat putusan Mahkamah Konstitusi soal Pemilihan Umum serentak menyebabkan kevakuman hukum dalam pelaksanaan pemilu. Hal ini karena pengajuan permohonan yang diajukan Effendi Ghazali dan kawan-kawan tidak meminta secara langsung maksud Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22 E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Selain itu juga Yusril mengatakan putusan yang di hasilkan oleh Mahkamah Konstitusi di dalam melakukan pengujian undang-undang itu merupakan putusan yang blunder dan menggantung.
Pelaksanaan dan hasil pemilu 2014 potensial ditafsrikan inkonstitusional dan terlegitimasi. Hal ini di karenakan putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum yang mengikat seketika setelah putusan di bacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.Secara prinsip, dalam memutus perkara pengujian undang-undang, Mahkamah Konstitusi hanya dapat berperan sebagai negative legislator, Artinya, Mahkamah Konstitusi hanya dapat menyatakan pasal, ayat, bagian atau seluruh norma undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan dinyatakan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 56 dan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi.Namun dalam perkembangan, Mahkamah Konstitusi membuat beberapa putusan yang tidak sekedar membatalkan norma, melainkan juga membuat putusan yang bersifat mengatur (positive legislature). Dalam perpektif yuridis normatif, tindakan aktivisme yudisial yang mengarah pada kedudukan positive legislature, tersebut tidak sesuai dengan pasal di atas dan terkesan melampaui batas.
Sekalipun demikian, apabila ditelaah, beberapa putusan MahkamahKonstitusi yang bersifat positive legislature justru menunjukkan dan menjadi bukti penegakan hukum yang progresif. Meskipun, putusan yang demikian tersebut menimbulkan problematika dan dinamika dalam implementasinya. Dalam penegakan hukum yang progresif,hukum tidak hanya dilihat dari kacamata teks undang-undang saja, melainkan menghidupkan kemaslahatan dalam kontekstualitas.
Pada konteks dinamika permasalahan putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan hasil putusan yang bersifat Possitive Legislature dan status Pemilu pada tahun 2014 inimenarik rasa ingin tahu penulis untuk lebih mendalami meneliti permasalahan dengan judul “Analisis Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang PemilihanUmum Presiden Dan Wakil Presiden Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
B.Rumusan Masalah
1. Apakah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden telah sesuaiberdasarkan Hukum Acara Mahkamah Konstitusidan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi?
2.Apa implikasi hukum dalam pembatalan atas Pasal 3 Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2), serta Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ?
C. Tujuan Penelitiandan Kegunaan Penelitian
1)Tujuan Penelitian
1.Untuk mengetahui Apakah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden telah sesuai berdasarkan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
2.Untuk mengetahui implikasi hukumdalam pembatalan atas Pasal 3Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2), serta Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
2)Kegunaan Penelitian
1.Sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada setiap perguruan tinggi yaitu sebagai syarat dalam menempuh ujian akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.
2.Untuk menambah pengetahuan penulis, terutama untuk menggembangkan ilmu pengetahuan yang telah penulis peroleh selama perkuliahan.
3.Sebagai sumbangan pemikiran penulis terhadap almamater dalam menambah khasanah Hukum Tata Negara yang berkenaan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan pemilu.
4.Sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya, khususnya dalam penelitian yang sama.
D.Manfaat Penulisan
     1. Manfaat teoritis dengan adanya penelitian ini adalah :
Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan danmemperkaya lagi khasanah keilmuan khususnya dalam bidang ketatanegaraan berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan pemilu, mengingat dewasa ini masih sulit untuk menemukan karya tulis atau buku berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pemilu.
     2. Manfaat Praktis Penelitian ini adalah :
Sebagai bahan pertimbangan sekaligus masukkan kepada pemerintah khususnya Mahkamah Konstitusi untuk dapat lebih kompeten dalam mengeluarkan suatu putusan.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Mahkamah Konstitusi
1.  Sejarah Mahkamah konstitusi (MK) di Indonesia
               Studi hukum tata negara dan konstitusi semakin menarik ketika melihat kenyataan bahwa UUD 1945 pasca amandemen mengimplikasikan perubahan secara mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, termasuk struktur dan kelembagaan negara. Perubahan Undang-undang Dasar 1945 dilakukan pada kurun waktu 1999-2002 dalam suatu suatu rangkaian perubahan, dibahas selama 2 tahun 11 bulan dengan cermat dan disahkan dalam empat tahap sidang tahunan MPR, yaitu tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Perubahan itu kemudian memperlihatkan bahwa indonesia mengadopsi prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan  antara lain prinsip “pemisahan kekuasaan” atau “check and balances” yang menggantikan prinsip supermasi parlemenyang dianut sebelumnya.[8] Salah satu implikasi dari pengadopsian prinsip-prinsip tersebut, kirannya diperlukan pelembagaan yang memungkinkan peranan hukum dan hakim untuk dapat mengontrol proses dan produk keputusan-keputusan politik yang mendasarkan diri pada prinsip “the rule of majority”. Dalam hal ini fungsi yudisial review atas undang-undang tidak dapt lagi dihindari penetapannya dalam sistem ketatanegaraan.
 Terkait dengan fungsi judisial review inilah, MK dibentuk dan hadir sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping MA yang jauh lebih dulu ada. Sacara stuktur kelembagaan, kedua lembaga negara tersebut sejajar dengan peran dan fungsi yang berbeda sebagaimana yang ditentukan oleh undang-udang dasar 1945. Salah satu kewenangan yang dimiliki keduanya sebagai pelaku kekuasaan kehakiman adalah kewenangan judicial review, yakni menguji peraturan perundang-undangan dengan batu uji peraturan perundang-undangan yang derajatnya  lebih tinggi.[9]
               Kedua lembaga tersebut memiliki kewenangan judisial review, bedanya     Mamenguji produk hukum dibawah undang-undang (UU) sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (1) UU nomor 5 tahun 2004 yang menyatakan “permohonan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada MA dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia”. Sedangkan MK menguji UU terhadap Undang-undang dasar 1945.[10] Kewenangana MK ini sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasal 24C yang menyatakan:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD negara republik Indonesia 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, memutus pembubaran partai Politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”[11]
        Disamping kewenangan diatas, MK mempunyai kewajiban memberikan putusan pendapat atas pendapat dewan perwakilan rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau wakil Presiden. Setelah eksistensi konstitusionalnya mendapat tempat dalam UUD1945 pasca Amandemen, MK secara resmi dibentuk pada tahun 2003 melalui undang-undang No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo UU No 8 tahun 2011. Dalam kiprahnya, sebagai sebuah lemabaga negara baru, MK dianggap sebagai fenomenal karena banyak memberikan suntikan kontribusi penting dan positif bagi pembangunan hukum serta demokrasi. Sebagaimana yang diharapkan sejak awal, dibentuknya MK dimaksudkan untuk mengawal dan menjaga agar konstitusi sebagi hukum tertinggi benar-benar dijalankan atau ditegagkan dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan sesuai dengan prinsif-prinsif negara hukum Moderen. Dalam Konteks negara hukum moderen ini, hukum merupakan faktor penentu bagi keseluruhan  paradigma kehidupan sosial, ekonomi dan politik disuatu negara. Untuk itu, sistem hukum perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law inforcing) sebagaimana mestinya sesuai dan sejalan dengan konstitusi sebagi hukum yang paling tinggi.
                Pentingnya menjaga konsistensi hukum adalah karena hukum sebagai sebuah sistem selalu berorientasi kepada tujuan. Hukum dapat diartikan sebagai perangkat peraturan yang biasanya dituangkan dalam dokumen tertulis yang disebut peraturan perundang-undangan. Dalam arti luas pengertian hukum mencakup pula norma-norma aturan yang hidup dalam praktik yang tidak tertulis, lembaga atau istitusi yang berkaitan dengan proses pembuatan, pelaksanaan dan penerapan serta penghakiman terhadap perbuatan melanggar aturan, serta segala aspek perilaku manusia dalam kehidupan bersama yang berkaitan dengan dengan norma-norma aturan yang mencakup dalam penegrtian budaya hukum. Elemen yang berkaitan erat dengan pengertian hukum diatas merupakan satu kesatuan sistem hukum.[12]
2. Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi (MK)
MK mempunyai 4 kewenangan dan 1 kewajiban  sebagaimana diatur dalam pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945. Pasal 24C  ayat 1 UUD 1945 menyebutkan secara eksplisit menegnai kewenangan MK tersebut, yaitu: (1) menguji UU terhadap UUD ; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga Negara; (3) memutus pembubaran Partai Poilitik; (4) memutus sengketa hasil pemilihan umum. Selanjutnya kewajiban MK diatur pada pasal 24C ayat (2) menyatakan: “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan  atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat atas dugaan pelanggaran oleh Presiden dan wakil presiden menurut Undang-undang Dasar”.[13]
Sejak berdirinya MK pada tanggal 13 agustus 2003, MK telah menangani atau memutus perkara yang berkaitan dengan kewenangan konstitusionalnya yaitu: (1) menguji UU terhadap UUD 1945; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga Negara; (3) memutus pembubaran partai politik; (4) memutus sengketa hasil pemilihan umum. Setelah lahirnya UU No.32 tahun 2004, kewenangan MK bertambah satu yaitu mengadili perselisihan hasil Pemilu Kepala Daerah (pasal 236 UU No 12 tahun 2008).
              Dalam melaksankan kewenangannya, MK menegaskan diri sebagai lembaga negara pengawal demokrasi (the guardian of demokracy)  yang menjunjung prinsip peradilan yang menegaskan keadilan substantif dalam setiap putusannya. MK selalu berupaya menegakkan keadilan substansif dalam pelaksanaan kewenangannya, hal tersebut terlihat dari putusan-putusan MK yang diterima oleh para pihak yang berperkara, baik yang kalah maupun yang menang. Bagi pihak yang kalah putusan MK diterima dan ditaati karena putusan itu diambil dalm proses peradilan yang terbukti transparan, tidak memihak dan dapat dipertanggungjawabkan  secara hukum, moral, bahkan secara ilmiah.
               Dalam kerangka mewujudkan keadilan substansif melalui pelaksanaan kewenangannya, MK tidak hanya bersandarkan pada semangat legalitas Formal  UU semata, tetapi juga konsistensi  untuk tanggung jawab mewujudkan tujuan norma hukum itu sendiri, yakni nilai substansifnya. Jika Gustav Radbruch menyebut  adanya 3 nilai mendasar dari hukum yang harus ditegakkan, yaitu keadilan, kepastian dan kemamnfaatan  maka dalam setiap putusannya MK memperhatikan dengan sungguh-sungguh ketiga nilai dasar tersebut. Memang kendatipun ketiga merupakan nilai dasar hukum yang penting tetapi sangat mungkin terjadi ketegangan antara satu nilai dengan nilai yang lainya karena satu sama lain potensi yang bertentangan. Keadaan demikian bisa dipahami karena ketiga nilai dasar tersebut berisi tuntutan yang berlainan. Kerana itu pula MK mempertimbangkan pilihan atas nilai dasar hukum itu dengan cermat, dalam arti disesuaikan atau tergantung pada karakteristik kasus perkasus. Dalam suatu perkara sangat mungkin prinsip kepastian hukum diabaikan manakala itu dipilih tetapi tidak menimbulkan kemanfaatan atau keadilan.  Begitu pula jika keadilan dipandang harus lebih dikedepankan, kemanfaatan dapat ditinggalkan. Atau MK akan mengkombinasikan ketiga-tiganya secara proporsional dengan yang dapat dipertanggungjawabkan.[14]
                Menurut MK nilai keadilan yang ingin dicapai tidak semata-mata keadilan prosedural yakni keadkilan yang dicapai melalui pembacaan rumusan teks Undang-Undang semata. Keadilan yang ingin ditegakkan MK adalah sebagai keadilan yang sesungguhnya, keadilan yang substansial, keadilan yang hakiki serta diakui, dirasakan dan hidup dalam masyarakat. Menurut Roger cotterrell, adalah kewajiban hakim untuk memahami, menggali nilai dan rasa keadilan yang ada dimasyarakat  (already exist). Keadilan itu bukan hanya mewakili atau milik majoritas saja, tetapi juga menjadi milik sekaligus melindungi manoritas. Jadi dalam perspektif penulis ukuran utama keadilan itu adalah penerimaan pihak-pihak yang berperkara terhadap putusan pengadilan. setiap putusan pengadilan pasti membuahkan pro dan kontra, karena ada selau ada pihak yang kalah dan menang, ada yang puas dan tidak puas. Pihak-pihak yang kecewa dapat menerima dan menaati putusan manakala proses peradilannya diyakini digelar secara adil, jujur, transparan dan terbuka untuk umum, maka penerimaan pihak-pihak tersebut sudah mendekati kepada nilai keadilan yangdiharapkan. Prinsif keadilan yang substansif itulah yang selalu diterapkan dalam perkara pengujian Undang-Undang.[15]
      Untuk mendukung paradigma penegakan keadilan subtansif tersebut MK melakukan berbagai hal, termasuk dengan pengorganisasian teknis persidangan. Pertama, MK menyediakan Fasilitas konsultasi dan permohonan online, baik melalui internet, surat elektronik, atau faksimile. Hal itu dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat kepada MK sehingga jarak  dan waktu tidak lagi menjadi kendala. Meskipun untuk kepentingan pengesahan MK tetap mensyaratkan dokumen permohonan asli untuk diserahkan ke MK. Kedua, MK menyediakan Fasilitas persidangan jarak jauh (vidio confrence) yang diletakkan diberbagai perguruan tinggi hukum diseluruh Indonesia sehingga untuk mengikuti persidangan, pihak yang berperkara tidak harus selalu datang ke gedung MK. Ketiga, MK membuat terobosan dengan menempatkan putusan sela dalam pengujian undang-undang sebagai sebelum putusan akhir dijatuhkan. Keempat, MK mengakomodir kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi yang berkembang sangat pesat untuk mendukung kelancaran persidangan. Kelima, untuk menjalankan prinsip audi et alterampartem sekaligus menjaga proses peradilan tetap fair, MK memanggil pihak-pihak yang berkepentingan dengan perkara untuk didengar keterangannya didalam persidangan.[16]
     Terhadap MK menjalankan kewenangan menguji konsistensi hukum, dalam hal ini konsistensi UU terhadap UUD 1945. Kiprah MK dalam menjaga konsistensi hukum, dalam hal ini konsistensi Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dapat dilihat antara lain dari banyak perkara dan putusandalam pengujian Undang-Undang. Sejak dibentuk pada tahun 2003, MK telah menangani banyak perkara pengujian UU, dari statistik perkara yang ada MK telah memutuskan 1942 perkara dari tahun 2003 sampai 2014. Mahkamah Konstitusi telah meregistrasi 808 perkara dan 156 diantaranya dikabulkan. Ditinjau dari aspek kewenangan MK, jumlah seluruh perkara MK dapat dirinci seperti pengujian Undang-Undang, sengketa kewenangan lembaga Negara, perselisihan hasil pemilihan umum DPRD, DPD, DPR, Presiden dan Wakil Presiden dan perselisihan hasil pemilihan umum Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah MK telah memutus perkara-perkara pengujian UU, baik yang amarnya ditolak, dikabulkan atau tidak diterima.[17]
       Melalui putusannya MK dapat mengabulkan permohonan dengan menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, bagian atau keseluruhan UU bertentangan dengan UUD 195. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam pasal 57 ayat (1) UU MK yang menyebutkan, putusan MK yang amar putusannya yang menyatakan bahwa materi muatan ayat pasal dan atau bagian dari UU bertentangan dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum Mengikat. Ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa putusan MK dalam perkara pengujian UU dengan UUD 1945 adalah menyatakan materi muatan pasal ayatdan atau bagian dari UU tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam konteks inilah MK memerankan diri sebagai a negative legislator atau pembatal norma dan bukan pembuat norma atau positive legislator. Sebagai negatif legislator, MK hanya bisa menghilangkan norma yang ada dalam suatu Undang-Undang bila bertentangan dengan UUD 1945 karena MK tidak Boleh menambahkah norma baru kedalam UU tersebut yang sesungguhnya menjadi kewenangan lembaga legislatif. Hal ini tegas dinyatakan dinyatakan dalam UU No 24 tahun 2003, yang menyatakan MK sebatas mengahapus norma.[18]
3. Putusan Mahkamah Konstitusi
Sejak awal keberadaannya, MK didesain untuk mengawal Konstitusi  dalam arti menjaga Undang-Undang Konsisten, sejalan, dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang dasar. Pada hal ini, ada semacam sekat konstitusionalisme yang membatasi secara tegas MK sebagai peradilan Konstitusi untuk tidak mencampuri ranah Legislatif. Karena itu Yudikatif MK pada prinsifnya hanya boleh menyatakan bahwa pasal/ayat/bagian atau seluruh Undang-Undang yang bertentangan dengan Konstitusi.
     Sejumlah Putusan MK, baik dalam pengujian Undang-Undang maupun persilisihan hasil pemilu (PHPU), telah berkembang  menjadi rujukan para pihak berperkara. Bahkan putusan-putusan tersebut menjadi rujukan pertimbangan MK, baik dalam memutus perkara pengujian Undang-Undang maupun PHPU berikutnya. Putusan-putusan berkembang menjadi yurisprudensi karena didalamnya terkandung temuan hukum yang melahirkan prinsi-prinsip hukum baru.
      Pembentukan hukum oleh hakim MK dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor yuridis, filosofis, maupun sosioal dan personal. Terkait dengan faktor-faktor tersebut, berikut ini telaah teoritis hukum responsif dati jhon Hendry Marryman, teori bekerjannya hukum dari Robert B. Seidmen dan William J. Chambliss, dan teori cybernetics dari Wiener:
      1. Peranan Hakim membuat hukum menurut Jhon Hendry Marryman:   antara comon law dan civil law. Negara-negara yang menganut  Common Law dan Civil Law system, hakim memiliki posisi strategis membentuk Hukum (judge made Law). Hal ini berbeda dengan Negara-negara civil Law yang lebih mengedepankan aturan-aturan perundang-undangan/hukum positif hasil legislasi. Karena hukum ditemukan oleh Hakim lebih ditekankan, karena dinegara legislasi dipandangannya sebagai fungsi tambahan belaka.
Jhon Hendry Marryman menyebutkan, karena peran strategisnya itu hakim sebagai pahlawan budaya, atau figur dari seorang bapak. Menilik perkembangan hukum dari common Lauw  system, hukum ditangan hakim dibuat salah satunya dengan alasan kedekatannya dari suatu kasus, dan membangun dari sebuah badan hukum yang mengikat hakim-hakim dibawahnya, inilah yang disebut sebagai doktrin stare decisi untuk memutus perkara yang sama dengan cara yang sama.
       Berbeda dengan itu, hakim dinegara-negara civil law hanyalah operator dari mesin yyang dirancang dan dibangun oleh legislator. Fungsinya adalah salah satu mekanis, dan dinegara civil lawnama-nama Legislator yang besar dalam sejarah bukan Hakim,  hakim dalam system civil Lawbukan pahlawan Budaya atau figur bapak, hakim adalah pengawai sipil yang mempunyai fungsi penting tetapi pada dasarnya tidak memiliki daya cipta. Kecenderungan keputusan-keputusan pengadilan yang lebih tinggi pada yuridiksi civil law dilakukan secara alami. Hakim pada tradisi civil law tidak pernah diartikan sebagai pemain yang memainkan peran dibagian utama. Hal ini diperkuat oleh ideologi anti-yudicial dan konsekuensi logis dari doktrin rasionalistik pemisah kekuasaan ketat. Hakim civil lawdengan demikian memainkan peran yang lebih sederhana dari hakim dari tradisi common law. Doktrin pemisahan kekuasaan menganggap bahwa penagadilan tidak diperkenankan melakukan fungsi interpretatif, tetapi harus merujuk pada masalah penafsiran hukum yang ditentukan oleh badan legislatif itu sendiri sebagi solusi. Legislatif akan memberikan interprestasi otoritatif untuk memandu hakim. Dengan cara ini kecacatan hukum akan terhindari, pengadilan akan dijegah untuk membuat hukum, dan negara akan aman dari ancaman tirani judicial.
      2. Manfaat teori bekerjanya Hukum dari seidman dan chambliss dalam penbuatan putusan MK.
Menurut Robert B. Seidman William J.Chambliss dalam teori bekerjannya hukum, pembentukan hukum dan implementasinnya tidak akan terlepas daripengaruh atau asupan kekuatan-kekuatan sosial dan personal, kekuatan sosial politik. Teori bekerjanya hukum ini menjelaskan bagaimana pengaruh dan personal dalam pembentukan dan implementasinya. Dalam konteks hukum yang berupa Undang-undang, dilingkungan DPR dan pemerintah, dimana kekuatan-kekuatan politik itu adalah sebagai pembentuk Undang-undang.[19]
      Menurut siedman dan chambliss, setiap peraturan hukum itu menunjukan aturan-aturan tentang bagaimana seseoarang pemegang peran diharapkan untuk bertindak:
      (1) tindakan apa yang akan diambil oleh pemegang peran sebagai respons terhadap peraturan hukum, sangat tergantung dan kendalikan oleh peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi,sanksinya, dari aktivitas lembaga pelaksanaanya, serta dari suatu kompleks kekuatan sosial, politik, dan lain sebagainya yang bekerja atas dirinya:
      (2) tindakan yang akan diambil oleh lembaga pelaksana sebagai respons terhadap peraturan-peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya dan dari seluruh kompleks kekuatan sosial, politik dan sebaginya yang bekerja atas dirinya, serta dari  umpan balik yang akan datang dari pemegang peran dan birokrasi:
      (3) tindakan apa yang akan diambil oleh lembaga pembuat undang-undang sebagai respon terhadap perturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan oleh fungsinya peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sangsinya, dan dari seluruh kompleks kekuatan sosial, politik, dan sebagainya yang bekerja atas mereka, serta dari umpan balik yang datang dari pemegang peran dan birokrasi.[20]
      Mengaju pada tiga poin diatas diatas, didapat pula gambaran bahwa pembentukan putusan MK dikendalikan tidak hanya oleh peraturan hukum yang ada (Undang-Undang dan Undang-Undang dasar) saja, tetapi dikendaikan juga oleh kekuatan sosial dan persoalan. Secara tidaklangsung teori bekerjannya hukum dapat dijelaskan bahwa berlakunya aturan hukum dapat dipengaruhi oleh kekuatan personel, lingkungan sosial, ekonomi, sosial, budaya, politik. Salah satu kekuatan soaial dalam teks ini adalah jaringan sosial.
       3. Manfaat Teori cybernetics dalam pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi
Cybernetics merupakan salah satu mekanis (mecanisme system), yang secara analogi diterapkan dalam kehidupan manusia (living organism-human life). Teori ini pertama kali dicetuskan oleh Norber wiener, guru besar Mate-matika di  Massachuttes Intitute of tegnology (MIT). Kata “cybernetics” diambil dari bahasa Yunani  yaitu “kubernetes” yang sama artinya dengan  “steersman”  atau “ goverbor”,  yang dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan alat atau “pengatur” (on an engine).
Cybernetics sebagai transformasi komunikasi mekanis yang berakar pada fisika dan metematika  kedalam bentuk kehidupan manusia. Wiener tidak menemukan perbedaan esensial antara proses pemberian dan penerimaan pemerintah  pada mesin dan manusia. Cybernetics menaruh perhatian besar dalam tehadap proses penyelenggaraan pesan dalam proses komunikasi itu. Perhatian Cybernernetics ditempatkan pada kesamaan karakteristik yang menajdi dasr dari proses komunikasi itu. Dalam sistem komunikasi proses hubungan antara pemberi pesan  (komunikasi I) dengan penerima pesan  (komunikasi II). Komunikasi I memberikan pesan kepada Komunikasi II  semata mata dianggap sebagai reaksi otomatis (akibat) akibat yang disebabkan oleh adanya aksi ( pemberian pesan) dari komunikasi I.
4. Penemuan hukum (rechsvinding) oleh Hakim dilembaga Pengadilan Metode penemuan Hukum .
   Ada perbedaan pandangan tentang metode atau penemuan hukum oleh hakim antara yuris Eropa Kontinental dengan Yuris Anglo saxon. Pada  umumnya yuris eropa kontinental tidakmemisahkan secara tegas antara metode interfrestasi dan kontruksi. Sebakinya, di Anglo saxon  membuat pemisahan yang tegas  antara interfrestasi dengan kontruksi. Perbedaan prinsip  antara interprestasi dan kontruksi yaitu interprestasi atau penafsiran terhadap Undang-Undang masih tetap berpegang pada teks itu, sedangkan pada kontruksi, hakim menggunakan penalaran logis untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks.
      Ada dua pandangan yang berbeda mengenai apakah hakim selau melakukan penemuan hukum atau tidak, pertama pandangan menurut doktrin sens Clair, bahwa penemuan hukum oleh hakim dibutuhkan jika (1) peraturan belom ada untuk suatu kasus in-konkreto, atau (2) peraturannya sudah ada tapi belum jelas. Doktrin Sens Clair meliputi 5 butir sebagai berikut:
       a. Ada teks Undang-Undang dimengerti maknanya sendiri berdasarkan setiap penjelasan sebelumnya, serta tidak mungkin menimbulkan keraguan
       b. Karena bahasa hukum berdasarkan bahasa percakapan sehari-hari maka dapat dianggap semau istilah yang tidak ditentukan pembuat Undang-Undang teap saja sama artinya dengan yang dimilikinya dalam bahasa percakapan biasa
       c. Kekaburan suatu teks Undang-Undang hanya mungkin terjadi karena mengadung arti yang  ambigu atau kekurangan arti yang lazim dari istilah-istilah itu
       d. secara ideal, baisanya yang dijadikan pegangan bagi pembuat Undang-Undang adlah ia harus merumuskan teks Undang-undangnyadengan sejelas-jelasnya.
       e. Untuk mengetahui adanya kekaburan ataupun tidak adanya kekaburan teks Undang-Undang. Tidak diperlukannya penafsiran sebaliknya. Pengakuan tentang jelas atau kaburnya  teks menghasilkan kriteria yang memungkinkan untuk menilai apakah suatu penafsiran atau penemuan memanga atau tidak deperlukan.[21]
      Kedua, Pandangan para penganut penemuan hukum selalu dilakukan yaitu hakim selalu dan tidak pernah ada tidak melakukan penemuan hukum. Hakim pada dasarnya mengkonstatasi peristiwa kongkrit, sekaligus merumuskan peristiwa kongkrit dan mengkualifikasi peristiwa kongkrit, sekaligus merumuskan peristiwa kongkrit dan mengkualifikasi peristiwa kongkrit, yang berarti menetapkan peristiwa hukumnya dari peristiwa konkrit adan/atau memberi hukum atau hukumannya.
       Penafsiran hukum secara alam fikiran hukum pada dasarnya dapat diterima sebagai jembatan antara Undang-Undang yang statis dan kaku dengan masa kini dan masa depan. Hukum akan dicari dan dipercayai masyarakat ketika mampu menjalankan tugas memandu dan melayani masyakat .
      Pembentukan hukum-hukum baru yang berwujud pada putusan MK diambil berdasarkan pertimbangan terhadap fakta-fakta yang terungkap dalampersidangan  meliputi ringkasan.
       a. Maksud dan tujuan pemohon
       b. Kewenangan Mahkamah sebagaimana  dimaksud pada pasal 24C UUD 1945 pada pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003.
        c. Kedudukan Hukum (legal standing) sebagai mana dimaksud pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang nomor 24 Tahun 2003
        d. Alasan dalam pokok permohonan sebagaimana dimaksud pasal 51 ayat (3) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
        e. Kesimpulan mengenai semua hal yang dipertimbangkan.[22]
        Dilihat dari perkembangan terdapat pula amar putusan lainnya dalam praktik mahkamah Konstitusi, yaitu :
        1. Konstitusionalitas bersyarat (conditionally Constitutional)
            Dalam pasal 56 UU No 24 Tahun 2003 tentang MK diatur tiga jenis amar putusan, yaitu pemohon tidak dapat diterima, permohonan dikabulkan, dan permohonan ditolak. Jika hanya berdasarkan pada 3 jenis putusan akan sulit untuk menguji Undang-Undang dimana sebauh Undang-Undang seringkali mempunyai sifat yang dirumuskan secara umum, padahal dalam rumusan yang sangat umum itu belum diketahui apakah dalam pelaksanaanya akan bertentangan dengan UUD atau tidak.
       2. Tidak Konstitusional Bersyarat (Conditionally Unconstitutionalitas)
Putusan tidak konstitusional bersyarat juga disebabkan jika hanya berdasarkan pada amar putusan yang diatur dalam pasal 56 UU No 24 Tahun 2003 tentang MK, maka akan sulit untuk menguji UU dimana sebuah UU seringkali memiliki sifat yang dirumuskan secara umum. Dalam konklusi putusan, sepanjang tidak dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan maka putusan tersebut tidak konstitusional bersyarat.
        3. Penundaan Keberlakuan Putusan
Penundaan Keberlakuan Putusan diambil MK untuk kepentingan Umum yang jauh lebih besar, MK merasa perlu membatasi akibat hukum yang timbul dari pernyataan inkonstitusionalitas suatu Undang-undang.
4. Perumusan Norma Putusan
Perumusan Norma dalam Putusan dinyatakan MK juka bagian-bagian tertentu dalam pasal-pasal yang diajukan permohonan sebagai bertentangan dengan Undnag-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.[23]
B. Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
Norma-norma hukum yang bersifat mengatur (regeling) dengan isi norma yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract norms) itu dituangkan dalam bentuktertulis tertentu yang disebut sebagai peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan atau wet in materiele zin menurut D.W.P Ruiter, dalam kepustakaan di Eropa Kontinental mengandung tiga unsur, yaitu:
       a. Norma Hukum (rechtsnom)
b. Berlaku keluar (naar buiten werken)
c. Berlaku umum dalam arti luas (algemeenheid in ruine zin)[24]
Jenis-jenis dan bentuk peraturan tertulis yang bisa disebut sebagai peraturan atau “regels”, “regulation”, legislation dan bentuk-bentuk “statutory instruments” lainya sangat beraneka ragam. Bahkan, ada pula bentuk-bentuk khusus yang biasa disebut sebagai “policy rules” atau “beleidssregels” yang merupakan bentuk peraturan kebijakan yang tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk dari peraturan perundang-undangan yang biasa. Bercermin pada Undang-Undang Dasar 1945 baik sebelum dan sesudah perubahan, hal-hal yang mengenai peraturan perundang-undangan tidak banyak dikemukakan, selain menyebut beberapa jenisnya. Secara eksplisit Undang-Undang Dasar 1945 hanya menyebut Undang-Undang dan Peraturan pemerintah, sedangkan peraturan perundang-undangan lainnya berkembang seiring dengan praktek ketatanegaraan dan tata pemerintahan republik Indonesia.
Lembaga Negara dan lembaga Pemerintah dalam perundang-undangan, juga berdasarkan teori Hans kelsen, dan Hans Nawiasky serta tanggapan terhadap ketetapan MPRS. No.XX/MPRS/1996 tentang Memorandum DPR GR mengenai Sumber tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, serta Undang-Undang No 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan Negara Republik Indonesia Merupakan “Formeel Gesets dan Verordnung & Autonome zatzung”  adalah Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang dibentuk oleh lembaga pemerintah dalam perundang-undangan lainnya yang merupakan peraturan yang bersumber dari kewenangan atribusi dan delegasi dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.[25]
Berdasarkan  Udang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang jenis-jenis peraturan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
      1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945
      2) Ketetapan MPR
      3) Undang-Undang/ PERPU
     4) Peraturan Presiden
     5) Peraturan Daerah provensi
     6) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota[26]
      Peraturan perundang-undangan yang tertinggi dinegara Republik Indonesia ialah Undang-Undang, yang didalam pembentukannya dilakukan oleh dua lembaga, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden seperti yang ditetapkan dalam pasal 5 ayat (1), dan pasal 20 UUD 1945. Sebagai suatu peraturan yang dibentuk oleh lembaga Legislatif (dewan perwakilan rakyat dengan persetujuan presiden) Undang-Undang merupakan peraturan perundang-undangan yang tertinggi, yang didalamnya telah dijantumkan sanksi pidana dan sanksi pemaksa, serta merupakan peratursn yang sudah dapat langsung berlaku mengikat umum.
Peraturan perundang-undangan secara mendasar merupakan bagian terpenting dalam perjalanan pemerintahan di Indonesia dewasa ini, hal ini dikeranakan selain menjadi subsistemhukum terhadap kaidah hukum pada umunya peraturan perundang-undangan ini juga menjadi pengait dilingkungan tempat berlakunya peraturan tersebut. Beberapa fungsi dari peraturan perundang-undangan :
   a. Fungsi Internal
  Yang dimaksud dengan fungsi internal adalah fungsi peraturan perundang-undangan sebagai subsistem hukum (hukum perundang-undangan) terhadap sistem kaidah hukum pada umumnya. Secara internal, peraturan perundang-undangan ,menjalankan beberapa fungsi :
            1) Fungsi penciptaan Hukum
                  Penciptaan hukum yang melahirkan sistem kaidah hukum yang berlaku umum dilakukan atau terjadi melalui kaidah putusan hakim (yurisprudensi). Kebiasaan yang tumbuh sebagai praktek dalam kehidupan masyarakat  atau negara dan peraturan perundang-undangan sebagai keputusan tertulis pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berlaku secara umum. Disni nampak bahwa secara tidak langsung, hukum dapat terbentuk melalui ajaran-ajaran hukum (doktrin) yang diterima dan digunakan dalam pembentukan hukum itu.
            2) Fungsi Pembaruan Hukum
                 Peraturan perundang undangan merupakan instrumen yang efektif dalam pembaruan hukum (law reform) dibanding dengan penggunaan hukum kebiasaan atau hukum yurisprudensi. Pembentukan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan sehingga pembaruan hukum dapat pula direncanakan. Fungsi pembaruan tidak saja terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada, tetapi dapat dipergunakan sebagai sarana memperbaharui yurisprudensi, hukum kebiasaan/adat.
            3) fungsi Integrasi Pluralisme sistem Hukum
             Pada saat sekarang, di Indonesia masih berlaku berbagai sistem hukum (empat macam sistem hukum), yaitu sistem hukum kontinental (barat), sistem hukum adat, sistem hukum agama (khususnya agama islam) dan sistem hukum Nasional (produk hukum setelah kemerdekaan).
            4) Fungsi kepastian Hukum
             Kepastian Hukum merupakan asas terpenting dalam tindakan hukum dan penegakkan hukum. Peraturan perundang-undangan dapat memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi dari pada hukum kebiasaan/adat atau yurisprudens. Untuk benar-benar menjamin kepastian hukum, peraturan perundang-undangan selain harus memenuhi syarat-syarat formal, harus memenuhi syarat-syarat lain,yaitu:
-          Jelas dalam perumusannya
-          Konsisten dalam perumusannya
-          Penggunaan bahasa yang tepat dan mudah dimengerti
    b. Fungsi eksternal
                   Fungsi Eksternal adalah keterkaitan peraturan perundang-undangan dengan lingkungan tempat berlaku. Fungsi eksternal ini dapat disebut sebagai fungsi sosilal hukum. Dengan demikian fungsi ini dapat juga berlaku pada hukum kebiasaaan/adat atau  yurisprudensi. Fungsi sosial dapat dibedakan:
                   1) Fungsi perubahan
                   Hukum juga dikeanl sebagai sarana pembaharuan (law as social enegnering). Peraturan perundang-undangan diciptakan atau dibentuk untuk mendorong perubahan masyarakat dibidang ekonomi, sosial maupun budaya.
                   2) Fungsi stabilitas
                   Peraturan perundang-undangan dapat pula berfungsi sebagai stabilitas. Peraturan perundang-undangan dibidang pidana, dibidang ketertibaan dan keamanan adalah kaidah-kaidah yang terutama bertujuan menjamin stabilitas masyarakat.
                   3) Fungsi kemudahan
                   Peraturan perundang-undangan dapat pula dipergunakan sebagai sarana mengatur kemudahan (fasilitas). Peraturan perundang-undangan yang berisi ketentuan intensif seperti keringanan pajak, struktur permodalan dalam penanaman modal merupakan kaidah-kaidah kemudahan.[27]
Peraturan perundang-undangan dalam perjalanan pemerintahan tidak sesuai dengan yang diharapkan, dikarenakan adanya peran dari beberapa elemen masyarakat yang turut mengkritisi kebijakan pemerintah yang ditetapkan. Hal ini yang meneyebabkan, ada istilah pengujian peraturan perundang-undangan. Istilah pengujian perundang-undangan dapat dibagi berdasarkan subjek yang melakukan pengujian, pengujian dapat dilakukan oleh hakim (toetsingsrecht van de rechter atau judisial review), pengujian oleh lembaga legislatif  (legislatif review)  diatur baik sebelum maupun sesudah perubahan perundang-undangan masa berlakunya UUD 1945, pertama kali diatur dallam Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, yang mengatur pengujian terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang merupkan kewenangan Mahkamah Agung, sedangkan pengujian undang-undang terhadap UUD merupakan kewenangan MK.[28]
Pengujian peraturan perundang-undangan dapat dilihat dari dua persfektif, yaitu persfektif pelakunyadan waktunya. Dilihat dari persfektif pelakunya, pengujian peraturan perundang-undangan dapat dilakukan oleh lembaga pembuatnya, oleh lembaga diluar lembaga pembuatnya. Pengujian peraturan perundang-undangan dari persfektif waktu dapat dibedakan pengujian peraturan perundang-undangan sebelum peraturan tersebut mendapatkan bentuk formal dan belum diundangkan sebagaimana mestinya. [29]
        Timbulnya pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tidak lepas dari pengaduan konstitusional , yajni sebagai slah satu bentuk pengujian konstitusional. Secara konseptual, pengujian konstitusional harus dibedakan dengan judisial review. Sepanjang pengujian dilakukan oleh pengadilan dan secara a pateriori- terhadap norma yang bersifat umum dan abstrak maka pengujian demikian dapat  disebut Judisial review .[30]
         Pengujian konstitusional (constitutional review) memiliki dua tugas pokok yaitu pertama, untuk menjamin berfungsinya sistem  demokrasi dalam hubungan perimbangan peran antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan peradilan; dalam hal ini, pengujian konstitusional dimaksudkanuntuk mencegah terjadinya penggunaan kekusaan oleh salah satu cabang kekuasaan negara dengan mengorbankan cabang kekuasaan lainnya; kedua untuk melindungi  setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga-lembaga sehingga merugikan hak-hak fundamental individu-individu tersebut yang dijamin oleh konstitusi.[31]
Pengujian konstitusionalitas norma hukum, dalam hal ini norma undang-undang, sebagai salah  satu bentuk pengujian konstitusionalitas mempunyai makna tersendiri khususnya dalam sejarah pertumbuhan gagasan negara hukum. Pengujian konstitusional undang-undang atau judicial reviuwon the constitutionalityof law, yang kemudian populer disebutsebagai judisal review saja, bertolak dari dasr pemikiran bahwa konstitusi adalah hukum dasar atau pundamental. Sedangkan pengujian konstitusionalitas perbuatan dalam hal ini perbuatan kelalaian pejabat publik yang menyebabkan terlanggarnya hak konstitusional seseorang-bertolak dari dasar pemikiran yang sama, yaitu penegasan sekaligus jaminan bahwa hak konstitusional itu adalah hak fundamental, sehingga pelanggaran terhadap yang terjadi karena perbuatan atau kelalaian pejabat publik merupakan pelanggaran terhadap ketentuan fandamental yang menjamin hak itu, yakni konstitusi.[32]
        Pasal 50 UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang MK mengatur pembatasan terhadap Undang-Undang yang dapat diuji oleh MK, yaitu Undang-Undang yang diundangkan sebelum perubahan UUD1945, namun menurut Jimly asshiddiqie, selain undang-undang , mahkamah konstitusi juga  berwenang menguji Perpu, sebab Perpu merupakan Undang-Undang dalam arti material (wet in materiele zin). Pendapat yang menyatakan membagi wet in formele zein dan wet informele in materiele zin sebagai sebuah sudut pandang/persfektif berpendapat bahwa tidak perlu dibedakan secara kaku karena setiap undang-undang disatu sisi dapat dilihat dari segi formilnya dan disisi lain dapat puladari segi materilnya secara sekaligus, juga bahwa daya ikat norma yang terkandung dalam setiap Undang-Undang dapat dibedakannya daya ikat yang bersifat umum dan daya ikat yang bersifat spesifik.[33]




BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Jenis penelitian/pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang objek kajiannya meliputi norma atau kaidah dasar, asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan, perbandingan hukum, doktrin, serta yurisprudensi.[34] Penelitian Normatif merupakan penelitian  hukum kepustakaan, karena menjadikan bahan kepustakaan sebagai tumpuan utama. Dalam penelitian hukum normatif ini penulis melakukan penelitian terhadap asas-asas hukumdan Jenis penelitian/pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif yaitu hukum kepustakaan, karena menjadikan bahan kepustakaan sebagai tumpuan utama. Dalam penelitian hukum normatif ini penulis melakukan penelitian terhadap asas-asas hukumdan sistematika hukumyang bertitik tolak dari bidang-bidang tata hukum tertentu, dengan cara mengadakan identifikasi terlebih dahulu terhadap kaidah-kaidah hukum yang telah dirumuskan didalam perundang-undangan tertentu.
B. Jenis danSumber Bahan Hukum
        Jenis dan sumber hukum yang diperlukan dalam penelitian ini adalah bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang diperoleh melalui study kepustakaan. Dalam penelitian hukum normatif, sumber datanya  yang dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :
a. Bahan Hukum Primer,yakni bahan-bahan ilmu hukum yang berhubungan erat dengan permasalahan yang di teliti yaitu :
1)Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2)Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003.
 4) Buku
 5) Jurnal Hukum
b.Bahan Hukum Sekunder, yakni bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan atau membahas lebih hal-hal yang diteliti pada bahan-bahan primer yaitu :
1)Kamus Hukum, pendapat-pendapat yang relevan dengan masalah yang di teliti serta data tertulis yang terkait dengan penelitian.
2) Berbagai makalah, surat kabar, majalah, dokumen dan data-data dari internet yang berkaitan dengan penelitian.
c.Bahan Hukum Tersier, yakni bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum Primer dan Sekunder, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

C.Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan  hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research).
 Studi kepustakaan ialah suatu metode yang berupa pengumpulan bahan-bahan hukum, yang diperoleh dari buku pustaka atau atau bacaan lain yang memiliki hubungan dengan pokok permasalahan. Dalam penelitian ini penulis mencari dan mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan baik berupa peraturan perundang-undangan, buku, hasil-hasil penelitian hukum, skripsi, makalah-makalah, surat kabar, artikel, majalah/jurnal-jurnal hukum maupun pendapat para sarjana yang mempunyai dengan judul penelitian ini yang dapat menunjang penyelesaian penelitian ini.
D. Analisis Bahan Hukum
Dalam penelitian ini analisis yang dilakukan adalah kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif yaitu apa yang dinyatakan secara tertulis.Selanjutnya, penulis menarik suatu kesimpulan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum kepada hal-hal yang bersifat khusus. Dimana dalam mendapatkan suatu kesimpulan dimulai dengan melihat faktor-faktor yang nyata dan diakhiri dengan penarikan suatu kesimpulan yang juga merupakan fakta dimana kedua fakta tersebut dijembatani oleh teori teori hukum.

BAB IV
HASIL  PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.PutusanMahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentangpemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Berdasarkan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 merupakan jawaban dari duduk perkara uji materi pasal 3 ayt (5), pasal 9, pasal 12 ayat (1)dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 yakni:
Pasal 3 Ayat (5) “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan Pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD”.
Pasal 9 “Pasal Calon diusulkan oleh partai Politik atau Gabungan Partai Politik pesrta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh pesen)) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 % dari suara sah Nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 12 ayat (1) dan (2) “(1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mengumumkan bakal calon Presiden dan/atau bakal calon wakil Presiden  dalam kampanye pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD. (2) Bakal Calon Presiden dan/atau Wakil Presiden tang diumumkan oleh partai Politik atau gabungan partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah mendapatkan persetujuan tertulis dari bakal calon yang bersangkutan”.
Pasal 14 ayat (2) “Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, paling lama 7 hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR”
Pasal 112 “Pemungutan suara pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 bulan setelah pemungutan hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota”.
Terhadap  pasal 1 ayat (2), pasal 4 ayat (1), pasal 6A ayat (2), pasal 22E ayat (1) dan (2), pasal 27 ayat (1), pasal 28D ayat (3), pasal 28H ayat (1), dan pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yakni:
Pasal 1 ayat (2) “Kedaulatan berada ditangan Rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Udang Dasar”.
Pasal 4 ayat (1) “ Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar”
Pasal 6A ayat (1) dab (2) “(1) Presiden dan wakil Presiden dipilih dalam suatu pasangan dalam pemilihan langsung oleh rakyat, (2) Pasangan calon Presiden dan wakil Presiden diusulkan oleh Partai politik atau gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
Pasal 22E ayat (1) dan (2) “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden Dan Wakil Presiden Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Pasal 27 ayat (1) “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Pasal 28H ayat 1(1) “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Pasal 33 ayat (4) “Perekonomian  nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi dengan prinsip kebersamaan , efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Uji materi ini diajukan Oleh Effendi Gazali, Ph.D,.M.P.S.I.D, M.Si berdasarkan pasal 51 ayat (1) UU MK yang menetukan bahwa “Pemohon adalah Pihak yang hak dan atau kewengan konstitusionalnya, telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang” yaitu perseorangan warga negara Idonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama).
Pemohon didaftarkan di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 10 Januari 2013 berdasarkan Akta penerimaan Berkas Pemohon Nomor 37/PAN-MK/2013 dan telah dicatat dalam buku registrasi perkara Konstitusi pada tanggal 22 Januari 2013 dengan Nomor 14/PUU-XI/2013, yang telah diperbaiki dengan perbaikan permohonan terakhir bertanggal 20 Februari 2013 dan diterima didalam persidangan tanggal 20 Februari 2013.
Adapun alasan-alasan Pemohon sebagai berikut:
1. Bahwa meskipun Pasal ayat (5) dan pasal 9 UU Nomor 42 tahun 2008 telah pernah dimintakan pengujian dihadapan MK seperti sebagaimana dalam Putusan MK NO 51-55-59/PUU-VI/2008 dan dalam Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi yang lain;
2. Namun demikaian berdasarkan ketentuan:
a. pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 8 tahun 2011 perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi ,menyatakan;
1) Terhadap Materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagiandalam Undang-Undang  yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda”
b. Berdasarkan ketentuan pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang menyatakan:
1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
2) Terlepas dari ketentuan ayat (1) diatas, permohona pengyjian Undang-Undang terhadap muatan ayat, pasal dan/atau bagian bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh mahamah Konstitusi dapat dimohonkan pengyjian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda.
Atas dasar tersebut, Pemohon bermaksud melakukan pengujian kembali pasal tersebut denga alsan konstirusional dan kerugian konstitusional yang berbeda,
Adapun alasan-alasan konstitusionalnya antara lain:
1. Banyaknya anggaran Negara yang dikeluarkan oleh pemerintah pemilu yang secara terpisah
2). Hak warga negara untuk memilih secara cerdas berdasarkan pasal 22E ayat (1) dan (2)
3. Hak warga negara untuk memilih secara cerdas dan efisien .
4. Banyak terjadi politik transksional yang berlapis-lapis.
5. Untuk memeprkuat sistem presidensial
Secara mutatis mutandis bertentangan dengan UUD 1945, karena bertentangan dengan spirit pelaksanaan Pemilu serentak sesuai dengan UUD1945 dan harus dinyatakan tidak memepunyai kekuatan hukum mungikat.
Bahwa berdasarkan alasan-alasan hukum yang telah diuraikan tersebut diatas, maka pemohon meminta agar Mahkamah konstitusi Republik Indonesia dapat mengabulkan hal-hal berikut;
1. Mengabulkan permohonan yang dimohonkan pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan pasal 3 ayat (5), Pasal 9, pasal 12 ayat (1) dan (2), pasal 14 ayat (2) dan pasal 122 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden  (Lembaran Negara  RI  Nomor 176, tambahan lembaran negara RI Nomor 4924) bertentangan dengan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945
3. menyatakan pasal 3 ayat (5), pasal 9, pasal 12 ayat (1) dan (2), pasal 14 ayat (2) dan pasal 112 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang  pemilihan umum Presiden dan wakil Presiden (Lembaran Negara  RI  Nomor 176, tambahan lembaran Negara RI Nomor 4924) tidak memepunyai kekuatan hukum mengikat
4. memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.





Berangkat dari permohonan uji materi undang-undang Nomor 42 tahun 2008  tentang pemilihan presiden dan wakil presiden, yang diajukan Aliansi masyarakat sipil untuk pemilu serentak, Efendi Gasali dan kawan kawan. Mahkamah Konstitusi dalam Putusanya Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemlihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ini, Mahkamah Konstitusi menyatakan dan mengabulkan Pemilihan Umum secara serentak akan tetapi pelaksanaannya baru dilaksanakan pada tahun 2019. Ketua Mahkamah Konstitusi daam pertimbanganya menyatakan, jika Pemilu serentak dilaksanakan pada tahun 2014, maka tahapan pemilu saat ini yang sedang berlangsung menjadi terganggu dan terhambat karna kehilangan dasar hukum. Selain itu  Ketua Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan, jangka waktuyang tersisa tidak memungkinkan atau tidak cukup memadai untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik dan konfrehensif jika pemilu serentak digelar pada tahun 2014.
          Dalam Amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013  mengadili, menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan pasal 3 ayat 5, pasal 12 ayat 1 dan 2, pasal 14 ayat 2 dan pasal 112 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
       2. Amar putusan dalam angka satu diatas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan selanjutnya.
Putusan Mahkamah konstitusi yang bersifat mengatur dalam pengujian Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dalam prespektif hukum responsif, menunjukkan bahwa para Hakim Konstitusi telah menunjukkan sikap yang mampu mengadopsi paradigmabaru dan meninggalkan paradigmalama. Dari paradigmapositivesme yang berorentasi pada formalistic-legalistik menuju paradigma post positivismdengan nuasa hukum progresifnya. Hukum tidak lagi dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri melainkan dia harus mampu berinteraksi dengan entitas lain dengan tujuan pokok, untuk mengadopsi kepentingan-kepentingan yang ada di masyarakat. Hukum tidak hanya dilihat dari kacamata teks undang-undang belaka, melaikan menghidupkannya dalam konstektualitasnya.
Sikap hakim konstitusi dalam putusan mengatur di atas menunjukkan bahwa tidak selalu mendasarkan pada pertimbangan yuridis dan otonom teks undang-undang, melainkan mencoba melihat sebuah persoalan dari berbagai perspektif dalam rangka untuk mewujudkan apa yang disebut keadilan substantif.Kita lihat dari Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, menurut Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M. Gaffar mengatakan Mahkamah tidak dalam tekanan pihak mana pun dalam memutus uji materi Undang-Undang Pemilihan Presiden. Janedjri mengklaim proses pembacaan putusan pun sudah sesuai prosedur. "Kalau ada yang bilang kami ditekan atau diintervensi itu tidak benar," kata Janedjri, di kantornya, Selasa, 28 Januari 2014. "Karena boleh dibuktikan kami sudah melakukan sesuai dengan prosedur." Janed merinci alur berkas perkara pengajuan UU Pilpres itu sampai diputuskan pada 23 Januari, kemarin. Menurut dia, terdapat tujuh kali lagi rapat permusyawarahan hakim (RPH) setelah keputusan diambil pada 26 Maret tahun lalu, semua tahapan yang dilalui telah sesuai dengan hukum acara mahkamah konstitusi.[35]
Pada dasarnya, putusan MK yang bersifat konstitusional berefek segera setelah putusan.Namun putusan MK tersebut tidak dapat dijalankan di pemilu tahun 2014 dengan argumentasi bahwa hal demikian dapat menyebabkan pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 2014 mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidak pastian hukum yang justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan UUD 1945.
Langkah membatasi akibat hukum dari suatu putusan atau Penangguhan berlakunya akibat hukum suatu putusan, bukanlah sesuatu yang baru dalam praktik peradilan, dalam hal ini peradilan Konstitusi, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Manakala akibat hukum dari suatu pembatalan norma dirasa akan menimbulkan keguncangan atau chaosticapabila diberlakukan seketika itu juga, maka pada saat itulah muncul terobosan dari para hakim untuk menangguhkan berlakunya akibat hukum(rechtsgevolg) guna menghindari keguncangan yang tidak dikehendaki. Penangguhan tersebut sekaligus juga dimaksudkan untuk memberi waktu bagi pembuat undang-undang untuk memperbaiki dan membentuk norma baru sesuai tafsir MK. Sehingga keguncangan akibat pembatalan suatu norma dapat diatasi atau setidak-tidaknya dapat dikendalikan melalui penangguhan tersebut. Dalam pada itulah Mahkamah Konstitusi RI juga melakukan penangguhan berlakunya akibat hukum dari putusannya.
Sepanjang sejarah MK, sudah ada 3 putusanMK yang menangguhkan berlakunya akibat hukum dari suatu putusan, termasuk Putusan Pemilu serentak ini. Setidak-tidaknya terdapat dua tujuan utama mengapa MK menangguhkan akibat hukum putusannya sendiri; Pertama, untuk menghindari kekacauan karena sesuatuhal telah kehilangan dasar hukumnya akibat pembatalan suatu norma oleh MK. Kedua, memberikan kesempatan (waktu) kepada pembentuk UU untuk menindaklanjuti putusan MK, sehingga kekosongan hukum akibat pembatalan tersebut dapat diisi dan ketika akibat hukum putusan tersebut mulai berlaku, baik aturan hukumnya maupun teknis pelaksanaannya sudah siap. Itulah kurang lebih ratio logis dibalik putusan penangguhan berlakunya akibat hukum Putusan MK.
. Terlepas dari penjelasan serta alasan-alasan diatas, menurut hemat penulis, penangguhan berlakunya akibat hukum Putusan MK adalah sesuatu kekeliruan yang dilakukan MK dalam menetapkan putusan, apabila dilihat dari kacamata hukum Positive. Karena melalui putusannya MK hanya dapat mengabulkan permohonan dengan menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, bagian atau keseluruhan UU bertentangan dengan UUD 195. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam pasal 57 ayat (1) UU MK yang menyebutkan, putusan MK yang amar putusannya yang menyatakan bahwa materi muatan ayat pasal dan atau bagian dari UU bertentangan dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum Mengikat. Ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa putusan MK dalam perkara pengujian UU dengan UUD 1945 adalah menyatakan materi muatan pasal ayat dan atau bagian dari UU tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam konteks inilah MK memerankan diri sebagai a negative legislator atau pembatal norma dan bukan pembuat norma atau positive legislator. Sebagai negatif legislator, MK hanya bisa menghilangkan norma yang ada dalam suatu Undang-Undang bila bertentangan dengan UUD 1945 karena MK tidak Boleh menambahkah norma baru kedalam UU tersebut yang sesungguhnya menjadi kewenangan lembaga legislatif. Hal ini tegas dinyatakan dinyatakan dalam UU No 24 tahun 2003, yang menyatakan MK sebatas mengahapus norma.
Apabila dikaitkan dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas  UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK yang berbunyi “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”, maka penagguhan berlakunya akibat hukum Putusan MK  melanggar atau bertentangan dengan bunyi Pasal 10 ayat (1).Makna frasa “..... memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan ....”jika ditafsirkan menggunakan metode gramatikal dan sistematis ialah bahwa Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkracht van gewijsdedalam arti mengikat dan final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD, sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Sehingga tidak dimungkinkan upaya perlawanan terhadapnya. Makna “memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan” berarti bahwa putusan itu harus berlaku dan dilaksanakan seketika itu juga.
       Pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi “Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding)”.[36]Yang dimaksud dengan putusan yang bersifat final yaitu segala perbuatan hakim yang diucapakan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sebuah sengketa, dan apabila sebuah putusan kurang bisa dimengertiatau banyak menimbulkan tanda tanya maka kita harus kembali melihat ke dalam pertimbangan hukumnya dan amar putusan sebuah putusan dan di dalam sebuah putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat adalah amar putusannya, jadi dalam putusan ini yang menjadi tolak ukur kita di dalam menafsirkan putusan Hakim Mahkamah yang bersifat final yaitu poin-poin yang terkandung di dalam amar pututusannya, apa saja yang terkandung di dalam amar putusannya, maka itulah yang menjadi hukum yang mengikat seketika tanpa adanya sebuah upaya hukum.
      Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa tahapan pemilu 2014 telah berjalan dan karna batas waktu yang telah mencapai tahap akhir sehingga mahkamah memutuskan perberlakuan putusan pemilu serentak tersebut diberlakukan tahun 2019. Dalam hal ini penulis kurang setuju dengan alasan hakim konstitusi, karena akan lebih baiknya mahkamah bertanya kepada KPU selaku institusi yang berwenang dalam penyelenggaran pemilu, apakah pemilu serentak tersebut bisa dilaksanakan pada tahun2014 ini atau tidak, akan tetapi fakta di persidangan menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak pernah meminta pedapat dari KPU.
B.Implikasi Hukum Dalam Pembatalan Beberapa Pasal Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden

a).Yang pertama kita lihat dari aspek pemberlakuanputusannya, menurut pakar hukum tata negara, Dr. Margarito Kamis dari Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate.Keputusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan pengujian Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang Pilpres menjadi polemik tersendiri. Kendati telah diputuskan pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dihelat serentak, namun dalam implementasinya keputusan tersebut baru berlaku pada pemilu 2019. Putusan Mahkamah KonstitusiNomor 14/PUU-XI/2013, menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan UUD 1945. Pasal-pasal yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tidak menimbulkan akibat hukum yang fundamental, kecuali Pasal 112 UU No. 42 Tahun 2008, karena dalam amar putusannya secara tegas menyatakan pasal ini bertentangandengan konstitusi. Akibat hukum yang paling fundamental, yang ditimbulkan dari pernyataan Mahkamah Konstitusidalam amar putusannya bahwa pasal 112 bertentangan presiden harus dilaksanakan secara bersamaan.
Menyadari akibat hukum yang fundamental itu, maka Mahkamah Konstitusimenyiasatinya dengan menyatakan, amar putusan tersebut diatas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnyaSecara konstitusional atau dalam tataran teoritik, siasat Mahkamah Konstitusitersebut menimbulkan masalah karena dalam pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berisi ketentuan sebagai berikut : Putusan Mahkamah Konstitusimemperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbukauntukumum. Maka ketentuan hukumnya pasal 112 UU No. 42 Tahun 2008 tentang pemilihan presiden dan wakil presiden, yang dinyatakan Mahkamah Konstitusibertentangan dengan UUD 1945, berlaku positif sejak putusan Mahkamah Konstitusidibacakan. Karena putusan tersebut di bacakan tanggal 23 Januari 2014 maka keputusan tersebut berlaku sejak tanggal tersebut, sehingga pasal 112 tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal-Pasal yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kehilangan sifat positifnya sebagai hukum, sehingga tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk melakukan tindakan hukum yang sah. Sehingga seharusnya Komisi Pemilihan Umum tidak bisa lagi menggunakan pasal 112 UU Pilpres sebagai dasar penyelengaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2014 ini.Pendapat senada disampaikan juga oleh Yusril Ihza Mahendra, bahwa setiap putusan Mahkamah Konstusiyang sudah diketok dan dibacakan, Secara otomatis berlaku sejak diucapkan oleh majelis hakim.Namun dalam konteks putusan pengujian undang-undangPilpres, Mahkamah Konstitusi memerintahkan agar pemilu serentak (yang berarti sesuai Konstitusi) dilaksanakan pada tahun 2019. Karena landasan untuk penyelenggaraan Pemilu 2014 inkonstusional, maka hasil dari Pemilu 2014 juga inskonstitusional. Konsekuensinya DPR, DPD, DPRD dan Presiden serta Wakil Presiden terpilih dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden2014 juga inkonstitusional.
Secara teoritik, terdapat dua akibat hukum lanjutannya yang bisa diidentifikasi, pertama, akibat hukum pra Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, adalah gugatan terhadap keputusan-keputusan KPU meliputi : penetapan tahapan Pilpres, penetapan pasangan calon, dan pengadaan barang dan jasa. Kedua, akibat hukum pasca Pilpres adalah gugatan terhadap keabsahan Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Semua gugatan akan dialamatkan ke Pengadailan Tata Usaha Negara di Jakarta, karena locusnya ada di Jakarta.Sebagai solusinya secara hukum bisa dilakukan dengan Presiden menerbitkan Perppu mencabut Pasal 9 UU No 42 Tahun 2008, dimana pasal tersebut berisi ketentuan pasangan calon presiden dan pasangan calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan suara paling sedikit 20 % dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25 %dari suara sah nasional. Apabila pasal 9 ini dihapus/dicabut, maka pemisahan pemilihan presiden dan pemilihan presiden tersebut sah, karena sudah sesuai dengan norma dan pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Sedangkan secara politik perlu diciptakan suasana demam politik, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2014 dengan dukungan dari semua pihak. Pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2014 ini perlu melibatkan Ormas yang punya pengaruh besar, seperti PP Muhammadiyah, PB Nahdatul Ulama, Persatuan Gereja Indonesia dan lain sebagainya. Pemerintah perlu mendorong pihak-pihak terkait terutama para pemuka opini untuk turut berpartisipasi agar Pemilu tetap berjalan dengan lancar dan aman. Implikasi atas keputusan Mahkamah Konstitusitersebut, harus diminimaliser agar tidak ada peluang bagi pihak-pihak yang kalah dalam pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden untuk menggugat hasil pemilihan karena pelaksanaan Pemilu tahun 2014 masih dianggap ilegal.
    b) Berdampak kepada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan dan sistem pemilu, baik Pilpres maupun Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan, telah dibuat dan diimplementasikan sedemikian rupa. Demikian juga persiapan-persiapan teknis yang dilakukan oleh penyelenggaratermasuk persiapan peserta pemilihan umum dan seluruh masyarakat Indonesia telah sampai pada tahap akhir.
c. Dihapusnya ketentuan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yaitu Pasal (3) Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2), serta Pasal 112yang betentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33ayat (4) UUD 1945.
d.Dengan diputuskannya Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 dan ketentuan yang lain yang berkaitan dengan tata cara dan persyaratan pelaksaan Pilpres maka diperlukan aturan baru sebagai dasar hukum untuk melaksanakan Pilpres pada tahun 2019 nantinya. Sebagai dasar hukum untuk melaksanakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak. Berdasarkan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945, ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum haruslah diatur dengan undang-undang yang baru, karena undang-undang yang telah dianggap bertentangan dengan UUD 1945 hanya bisa digantikan dengan undang-undang juga yaitu undang-undang yang baru.
e. Biaya/Aggaran pemilu, Selama ini, honor penyelenggara pemilu merupakan komponen terbesar biaya pemilu, memakan hingga 65 persen dana pemilu. Besarnya honor ini terkait jumlah tempat pemungutan suara (TPS) di Indonesia sangat banyak, mencapai 500 ribu. Setiap TPS ini ditunggui tujuh orang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Dengan demikian, total jumlah anggota KPPS ini sekitar 3,5 juta orang. Jika honor setiap anggota KPPS dirata-ratakan Rp 300 ribu per orang, maka biaya yang dibutuhkan untuk satu pemilihan, katakan presiden, adalah 1 triliun. Ini belum termasuk honor Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang berjumlah 3 orang setiap kelurahan/desa. Ada 77.465 desa/kelurahan di Indonesia. Belum lagi honor anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), 5 orang per kecamatan di 6.694 kecamatan; honor anggota Panitia Pengawas Lapangan (PPL), yang jumlahnya 1-5 orang per desa; honor Panwaslu Kecamatan, yang jumlahnya tiga orang per kecamatan, dan biaya-biaya honor lainnya untuk kesekretariatan dan sebagainya, sesuai dengan pernyataan Komisioner Divisi Humas KPU, Dr. Ferry Kurnia Rizkiyansyah, S.I.P, M.Si, bahwa pemilu serentak akan mengefisiensi setidaknya 7 hal: pemutakhiran data pemilih, sosialisasi, perlengkapan TPS, distribusi logistik, perjalanan dinas, honorarium, dan uang lembur. Total biaya yang bisa dihemat mencapai 5-10 Triliun Rupiah. Pemilu Serentak Kepala Daerah juga akan mengurangi militansi pada hanya satu calon kepala daerah, pengurangan biaya kampanye karena dapat dilakukan bersama-sama, serta amat berkurangnya para donatur atau ”cukong” yang bermaksud menanam modal terlebih dahulu dan selanjutnya akan mendapatkan aneka proyek dengan cara-cara yang koruptif, hal ini sejalan dengan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 “ perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
f. Sistem pemilu yang sederhana dan memberikan ruang yang luas untuk masyarakat dalam berpartisipasi di pemilu berikutnya, warga Negara Indonesia memiliki aktivitas dan kesibukan yang berbeda-beda, sehingga dengan pemilu yang terpisah antara legislatif dan Presiden, terdapat selisih yang cukup tinggi antara warga Negara yang menggunakan hak pilih dalam Pemilu Legislatif dengan Pemilu Presiden. Selain itu, terdapat sejumlah besar warga Negara yang tidak menggunakan hak pilihnya yang dikarenakan keterbatasan waktu dan kesibukan dari masing-masing warga Negara.

BAB V
PENUTUP

A.Kesimpulan
     Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis antara lain :
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, karena dalam sifat putusannya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang bersifat positive legislatureyang notabene bukanlah kewenangan Mahkamah Konstitusi.
2. Dari pembatalan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden terjadi implikasi hukum terhadap perubahan dalam sistem Pemilu itu sendiri serta berakibat pula terhadap penghapusan Pasal 3 ayat (5), pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), pasal 14 ayat (2) dan pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 dan diikuti pula dengan harus adanya sebuah undang-undang yang baru untuk penyelenggaraan Pemilu itu sendiri, berkurangnya dana pemilu dan memberikan ruang yang lebih luas kepada masyarakat untuk berpartisipasi di dalam pemilu itu sendiri serta melindungi hak masyarakat.


B. Saran
1.Diharapkan kepada pemerintah untuk menindak lanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 dengan merevisi undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan memasukkan substansi putusan Mahkamah Konstitusi di dalamnya.
2. Diharapkan kepada KPU untuk membuat peraturan KPU yang sejalan dengan maklumat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013.
















DAFTAR PUSTAKA

A.Buku:
Amos, Abraham. 2007.Katastropi Hukum dan Quo Vadis Sistem Politik Peradilan Indonesia.PT. Raja Grafindo Persada:Jakarta
.Ashsofa,Burhan. 1996.Metode Penelitian Hukum. PT. Rineka Cipta:Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly. 2006.  Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press: Jakarta
_____________.2006. Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia. Sinar Grafik:.Jakarta
_____________.2006. Pengantar Ilmu Tata Negara. PT. Rajawali Grafindo:Jakarta
_____________.2010.Perihal Undang-Undang Di Indonesia.sekretaris Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: Jakarta
_____________2006. Model-Model Pengujian Konstitusional Di berbagai Negara. Konstitusi Press:Jakarta
_____________2010. Perihal Undang-Undang. PT. Rajawali Grapindo Persada: Jakarta
Atmadja Gede Dewa I. 2012. Ilmu Negara,.Setara Press: Malang.
Farisda, Maria Indrati Suprapto.2007. Ilmu Perundang-Undangan (1) (jenis, fungsi, dan Materi muatan).Kanisius: Yogyakarta
Rasyad, Aslim.2005.Metode Ilmiah: Persiapan Bagi Peneliti.UNRI Pres: Pekanbaru.
Simorangkir, J.C.T. 2000.Kamus Hukum. Sinar Grafika: Jakarta.
Soekanto, Soerjoeno, Sri Mamudji.Penelitian Hukum Normatif. SuatuTinjauan Singkat,PT.Raja Grafindo: Jakarta.
_____________, 1983.Pengantar Penelitian Hukum.UII Pres:Jakarta.
Syahrizal, Ahmad, 2006, Peradilan Konstitusi, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.2010. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.Sekretariat Jendral Dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi
B. Jurnal/Kamus/Makalah:
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013
C. Peraturan Perundang-undangan:
 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316.
     Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.
     Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor: 06/PMK/2005 tentang Pedoman beracara dalam perkara pengujian Undang-Undang.
D. Website:
http://nasional.kompas.com/read/2014/01/24/0320388/Yusril.Putusan.MK.soal.Pemil.Serentak.Sebabkan.Kevakuman.Hukum, diakses, tanggal, 07 April 2014.
http://dindyputri.blogspot.com/2012/06/asas-asas-pemilu.html, diakses, tanggal 15 juli 2014
.http://www.mimbar-rakyat.com/detail/inilah-tata-cara-hakim-mahkamah-konstitusi-memutus-perkara,diakses, tanggal, 29 Agustus 2014.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=4719diakses tanggal 29 Agustus 2014.
http://pjminews.com/index.php?page=artikel&id=368,diakses,tanggal, 10 Oktober 2014.





[1] J.C.T. Simorangkir, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta: 2000, hlm. 104.

[2] H.F. Abraham Amos, Katastropi Hukum dan Quo Vadis Sistem Politik Peradilan Indonesia, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2007, hlm. 226.
[3] Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi, PT. Pradnya Paramita,Jakarta: 2006, hlm. 55.

[4] Ibid. hlm.56.

[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah Konstitusi Indonesia, diakses, tanggal, 15 februari

[6] Ahmad Syahrizal, Op.cit, hlm. 259.

[7]http://nasional.kompas.com/read/2014/01/24/0320388/Yusril.Putusan.MK.soal.Pemilu.Serentak.Sebabkan.Kevakuman.Hukum,diakses, tanggal, 07 April 2014

[8]Iksan Rosyida. 2004. MK memahami keberadaannya dalam sistem ketatanegaraan RI. Jakarta: Renika Cipta. Hlm 7.
[9]Jimly Asshidiqy.2010.Perihal Undang-Undang Di Indonesia.sekretaris Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: Jakarta.hlm 6
[10]Lihat UU No 5 Tahun 2004
[11]Lihat UUD 1945 Pasal 24C
[12]Asshiddiqie, Jimly. 2006.  Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press: Jakarta.Hlm. 35

[13]Soedarsono. 2005.Mahkamah Konstitusi Sebagai pengawal Demokrasi: Jakarta.Press.Hlm 3
[14]Martitah. 2011.Mahkamah Konstitusi dari Negative Legislature ke Pisitive Legislature.Jakarta.Konstitusi Press. Hlm 10
[15]Mahkamah Konstitusi.2009. Mengawal Demokrasi menegakkan keadilan substantif. Jakarta: Konstitusi Press. Hlm 25
[16]Ahmad Syahrizal,, 2006, Peradilan Konstitusi, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.Hlm 45

[17]Ibid.Hlm 70
[18]Ibid. Hlm 38
[19]Ibid. Hlm 45-46
[20]Ibid. Hlm. 50
[21]Ibid. Hlm. 55
[22]Jimly Asshidiqie,2006 Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press,Jakarta.Hlm 10-11

[23]Ibid. Hlm.12
[24]Ibid. Hlm. 13
[25] Ibid. Hlm. 16-17
[26] Lihat Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011
[27]Ibid. Hlm. 21-23
[28]Abdul Latief.2007.Fungsi MK Dalam Upaya Mewujudkan Demokrasi. Jogja: Kreasi Total Media Press.Hlm 55
[29] Ibid. Hlm 56.
[30] Ibid.Hlm 58
[31] Ibid. Hlm 59
[32] Ibid. Hlm 61
[33] Jimly Asshiddiqie.2006..Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press,Jakarta:Hlm 61


[34] Amiruddin & Zainal Asikin.2004..Pengantar Metode Penelitian Hukum.Jakarta:Raja Grafindo Persada,hlm 119
[35]http://pjminews.com/index.php?page=artikel&id=368, diakses, tanggal, 10 Oktober 2014
[36]Lihat Undang-Undang UU No 8 Tahun 2011 perubahan UU No 24 tahun 2003 pasal 10 ayat (1)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

contoh laporan supervisi akademik madrasah aliyah tahun 2017-2018

pengaruh dimensi bauran pemasaran terhadap keputusan pembelian mobil suzuki pada PT. Megah Putra Kendari

proposal penelitian Manajemen Pemasaran